Apa Peranan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Indonesia?

Smartlegal.id -
Apa Peranan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Indonesia?

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Indonesia adalah lembaga pemerintah yang menangani masalah konsumen. Yuk, kenali dan pahami perannya berikut ini.

 

Kemajuan perekonomian Indonesia saat ini tidak lepas dari peranan aktivitas usaha. Dari mulai perdagangan barang sampai jasa, keduanya memengaruhi pergerakan roda ekonomi nasional. Meski kegiatan tersebut bisa berjalan lancar, berbagai permasalahan tetap terjadi. Terutama kasus sengketa konsumen—yang gugatannya dapat dilakukan dengan prosedur class action.

Peraturan tertulis tentang class action dicantumkan dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 46 Ayat 1. Pasal tersebut berisi ketentuan menggugat pelaku usaha oleh konsumen atau perwakilannya. Pengaduan dan gugatan bisa diajukan ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Indonesia (BPSK).

 

 

#Apa Itu BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen) ?

Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 disebutkan bahwa, BPSK merupakan lembaga peradilan konsumen di Daerah Tingkat II seluruh Indonesia. Tugas utamanya adalah memberikan perlindungan kepada konsumen sekaligus menangani penyelesaian sengketa di luar lembaga peradilan umum.

Adapun anggota BPSK terdiri dari aparatur pemerintah, pelaku usaha, konsumen, dan produsen yang mendapatkan amanah khusus dari menteri. Selama menangani kasus konsumen, BPSK berhak melakukan pemeriksaan validasi laporan, meminta bukti, hasil tes labaoratorium, serta bukti lain terkait pihak yang bersengketa.

 

#Jenis-Jenis Sengketa di BPSK

Sengketa di BPSK dibedakan berdasarkan kategori produk, yaitu sengketa barang dan jasa. Berikut uraiannya.

  • Sengketa barang. Beberapa kasus yang termasuk dalam sengketa barang, antara lain makanan dan minuman, berlangganan surat kabar, elektronik, serta perhiasan.

 

  • Sengketa jasa. Kategori sengketa jasa meliputi pemanfaatan jasa, antara lain asuransi, pembelian rumah, perbankan, kredit kendaraan, telekomunikasi, listrik, air, dan PDAM. Tidak ketinggalan, pelayanan kartu kredit, transportasi umum, serta parkir juga tergolong dalam perselisihan jasa.

 

 

#Sudah Berapa Banyak Kasus yang Ditangani oleh BPSK?

Sepanjang tahun 2013 sampai 2017, perkara konsumen yang paling banyak masuk ke BPKN (Badan Perlindungan Konsumen Nasional). Jumlahnya bisa mencapai ratusan perkara dari berbagai jenis sengketa. Berkas kasus tersebut lantas dilimpahkan ke BPSK untuk ditangani lebih lanjut.

Menurut BPKN, jenis perkara konsumen tersebut mayoritas menyangkut kasus perbankan dan pembiayaan kendaraan bermotor. Meski begitu, ada juga penanganan perkara asuransi, transportasi, serta rumah dan properti. Untuk sengketa perbankan pada tahun 2013 sekitar 151, sedangkan di tahun 2014 meningkat 177 kasus. Penurunan perkara terjadi di tahun 2016, yakni 90 kasus. Sementara di tahun 2017 hanya 60 sengketa.

Sengketa pembiayaan konsumen sempat mencapai 115 perkara di tahun 2013 dan 107 kasus di tahun 2014. Namun, pada tahun-tahun berikutnya—2015 sampai 2017—jumlah sengketa tersebut menurun.

 

 

#Putusan BPSK

Penyelesaian sengketa konsumen bisa melalui berbagai metode, antara lain arbitrase, konsiliasi, dan mediasi. Hasil penyelesaian perkara tersebut dicantumkan dalam perjanjian tertulis. Agar kuat secara hukum, perjanjian dilampirkan keputusan majelis yang dibubuhi tanda tangan ketua dan anggota majelis.

Adapun bentuk putusan majelis BPSK berupa perdamaian, gugatan dikabulkan, serta gugatan ditolak. Apa pun putusan BPSK, semua itu bersifat final dan memiliki kekuatan hukum. Eksekusi putusan BPSK bisa diajukan kepada Pengadilan Negeri—tempat konsumen yang merasa dirugikan.

Melihat peraturan dalam Pasal 54 Ayat 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, putusan BPSK tidak mungkin bisa diajukan banding. Hal senada juga diungkapkan dalam Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/.

Namun, Anda akan melihat hal sebaliknya di Pasal 56 Ayat 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Di situ tertulis, bahwa ada peluang untuk mengajukan banding ke pengadilan negeri setempat. Pihak yang bersengketa diberikan waktu tenggang 14 hari pascapembacaaan putusan BPSK. Sayangnya, permasalahan kerap timbul akibat BPSK tidak menegaskan adanya keberatan secara terbatas.

 

 

#Peranan Penyelesaian Badan Sengketa Konsumen Indonesia

Mengenai peranan BPSK dalam menuntaskan perkara konsumen, sudah diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999. Undang-undang tersebut menyebutkan ada 2 (dua) bahasan pokok BPSK.

  1. Konsumen tidak harus menyelesaikan konflik atau permasalahan melalui BPSK. Meski demikian, putusan BPSK memiliki kekuatan hukum yang kuat untuk membuat jera pelaku usaha. Selain karena sanksi berat, putusan dapat dijadikan berkas perkara bagi penyidik.
  2. Pasal 46 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 menyebut bahwa, tindakan pelanggaran para pelaku usaha boleh digugat oleh :
  • ahli waris dari pelaku usaha atau konsumen yang merasa dirugikan;
  • beberapa konsumen dengan kepentingan sama;
  • LSM yang bergerak di bidang perlindungan konsumen sesuai syarat undang-undang;
  • dan pemerintah atau instansi terkait.

 

Dengan bahasan pokok tersebut, BPSK yang bertugas menangani perkara konsumen dan pelaku usaha memiliki peran sebagai berikut.

  1. Menangani perkara konsumen melalui mediasi, konsiliasi, dan arbitrase.
  2. Membuka konsultasi perlindungan konsumen.
  3. Mengawasi pencantuman klausul baku.
  4. Jika ada pelanggaran Undang-Undang Perlindungan Konsumen, BPSK wajib melaporkan kepada penyidik.
  5. BPSK wajib menerima pengaduan secara tertulis ataupun tidak tertulis mengenai berbagai jenis pelanggaran.
  6. BPSK bertugas melakukan pemeriksaan perkara dan penelitian terkait masalah perlindungan konsumen.
  7. BPSK berhak memanggil pelaku usaha yang diduga melanggar Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
  8. BPSK berhak menghadirkan saksi ahli, saksi, atau seseorang yang dianggap mengetahui tindak pelanggaran Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
  9. BPSK bisa meminta bantuan penyidik dalam hal mendatangkan saksi, saksi ahli, dan pelaku usaha—jika mereka tidak mau memenuhi undangan dari BPSK.
  10. Memeriksa kebenaran alat bukti untuk tujuan penyelidikan.
  11. Memastikan ada atau tidaknya kerugian di pihak konsumen.
  12. BPSK harus memberitahukan setiap putusan atas pelanggaran kepada pelaku usaha.
  13. BPSK berhak menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran.

 

Nah, dalam menyelesaikan perkara konsumen, BPSK harus memegang tiga prinsip utama. Hal ini senada dengan pendapat S.Sothi Rachagan—Vice the Chancellor of Nilai University—yang mengatakan bahwa, mengelola lembaga penyelesaian sengketa konsumen tidak boleh lepas dari prinsip berikut.

  • Prinsip aksebilitas. Prinsip aksesibilitas merupakan upaya untuk menyebarluaskan lembaga yang berfungsi menuntaskan perkara sengketa konsumen. Prinsip ini memastikan lembaga tersebut dapat diakses masyarakat umum. Adapun cakupan prinsip aksebilitas, yaitu prosedur mudah dan sederhana, biaya terjangkau, pembuktian fleksibel, komprehensif, dapat diakses langsung, serta tersedia di tempat mana pun.

 

  • Prinsip fairness. Maksud prinsip ini, yakni mengupayakan penyelesaian sengketa bersifat mandiri dengan keadilan yang lebih diutamakan. Dalam menerapkan prinsip fairness, kepastian hukum diabaikan. Meski begitu, penyelesaian perkara konsumen harus memenuhi syarat public accountability.

 

  • Prinsip efektif. Prinsip efektif mengharuskan sebuah lembaga penyelesaian sengketa dibatasi cakupan masalahnya—termasuk kompleksitas dan nilai klaim. Jadi, semua berkas perkara yang masuk ke BPSK wajib dituntaskan dengan cepat—tanpa mengabaikan kualitas penyelesaian.

 

 

# Alur Penyelesaian Sengketa

Alur penyelesaian sengketa konsumen dengan pelaku usaha—baik publik maupun privat—diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999. Dalam undang-undang ini disebutkan bahwa, penuntasan masalah konsumen memiliki kekhasan. Pasalnya, pihak yang bersengketa bisa memilih beberapa lingkungan peradilan.

Lingkungan peradilan tersebut meliputi, penyelesaian di pengadilan dan luar pengadilan. Hal itu sesuai dengan Pasal 45 Ayat 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK), yang menyatakan bahwa penyelesaian perkara bisa dilakukan melalui cara-cara berikut ini.

  1. Cara damai. Jalan damai untuk menyelesaikan sengketa konsumen tidak melibatkan BPSK ataupun pengadilan. Antara konsumen dan pelaku usaha menuntaskannya secara kekeluargaan. Pun penyelesaiannya terlepas dari aturan Pasal 1851-1864 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Di dalam pasal tersebut terdapat aturan syarat-syarat, kekuatan hukum, serta perdamaian yang mengikat (dading).
  2. Cara menyelesaikan sengketa lewat pengadilan. Konsumen juga bisa memilih penyelesaian lewat pengadilan. Upaya ini wajib mengikuti aturan-aturan di peradilan umum. Pun segala keputusannya berada di tangan majelis yang menangani sengketa konsumen dan pelaku usaha.
  3. Penyelesaian perkara lewat BPSK. Cara ketiga adalah lewat BPSK. Berikut alur penyelesaian sengketa melalui BPSK.

 

  • Tahap Pertama—Pengajuan Gugatan

Pengajuan gugatan—sebagaimana dijelaskan sebelumnya—dapat dilakukan oleh konsumen atau sekelompok konsumen. Permohonan tersebut diajukan ke BPSK terdekat dari tempat tinggal penggugat. Lokasi BPSK biasanya di ibu kota kabupaten atau kotamadya.

Jika konsumen tidak bisa mengajukan permohonan sendiri, ia diperkenankan mengirim kuasanya. Begitu pula ketika penggugat meninggal dunia, sakit, atau lanjut usia, pengaduan dapat dilakukan oleh ahli waris yang bersangkutan. Cara mengajukan permohonan gugatan tersebut boleh secara lisan maupun tertulis. Asalkan semua itu memenuhi syarat undang-undang.

Setelah menentukan perwakilan, selanjutnya permohonan tertulis dikirimkan atau diserahkan ke sekretariat BPSK. Sebagai bukti telah menerima, biasanya BPSK memberikan tanda terima tertulis. Sementara itu, khusus permohonan lisan, sekretariat akan mencatat pengajuan penggugat di sebuah formulir. Di formulir itu nantinya ada tanggal dan nomor pendaftaran.

Lalu, bagaimana jika berkas permohonan tidak lengkap atau keluar dari aturan Kemenperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001? Dalam kasus ini, BPSK berhak menolak pengajuan permohonan. Hal itu pun dilakukan ketika permohonan yang diajukan bukan wewenang BPSK.

Sebaliknya, kalau permohonan memenuhi kriteria, BPSK wajib memanggil tergugat (pelaku usaha). Pemanggilan tersebut berupa surat tertulis yang dilampiri gugatan dari konsumen. Proses pemanggilan ini berlangsung paling lama 3 hari sejak berkas pemohon masuk dan disetujui BPSK.

 

 

  • Tahap Kedua—Pemilihan Metode Penyelesaian Sengketa Konsumen

Tahap berikutnya—setelah tergugat memenuhi panggilan—kedua belah pihak menentukan metode penyelesaian perkara. Metode tersebut harus disepakati keduanya. Berikut ini metode yang bisa dipilih.

  • Mediasi. Proses ini digunakan untuk menyelesaikan sengketa konsumen di pengadilan melalui BPSK. Fungsi BPSK hanya sebagai penasihat. Sementara penyelesaian masalah diserahkan kepada pihak yang bersengketa.

 

  • Konsiliasi. Metode konsiliasi digunakan dalam penuntasan masalah konsumen di luar pengadilan. Majelis bertugas untuk mendamaikan pihak yang bersengketa. Namun, majelis hanya sebagai konsiliator (pasif). Sementara itu, hasil putusan diserahkan kepada pihak penggugat dan tergugat.

 

  • Arbitrase. Pada metode arbitrase, para majelis berlaku aktif dalam menyelesaikan perkara pihak yang bersengketa. Khusus arbitrase, penyelesaian masalah dilakukan melalui pengadilan negeri dan kasasi Mahkamah Agung. Karena itu, putusan akhir berada di tangan MA—pengaduan dianggap selesai di tahap ini.

 

 

  • Tahap Ketiga—Putusan Sengketa Konsumen dan Pelaku Usaha

Putusan yang ditetapkan oleh majelis BPSK terdiri dari dua jenis berikut ini.

  • Putusan BPSK untuk metode penyelesaian dengan konsoliasi dan mediasi. Putusan ini berisi perjanjian damai tanpa disertai sanksi administratif. Perjanjian tersebut disepakati dan ditandatangani pihak yang bersengketa.
  • Putusan BPSK untuk metode arbitrase. Berbeda dengan konsiliasi dan mediasi, arbitrase memuat putusan perkara perdata. Setiap putusan memuat duduk perkara disertai pertimbangan hukum.

Meski tiap jenis putusan berbeda hasil, BPSK harus mendahulukan musyawarah untuk mencapai mufakat. Jika mufakat tak kunjung tercapai, langkah selanjutnya adalah mengambil suara terbanyak. Itu pun mesti didasarkan pada kesepakatan pihak yang bersengketa.

Putusan yang didapatkan minimal harus membuat efek jera bagi pelaku usaha sehingga mau bertanggung jawab atas kerugian konsumen. Pun bersedia mengganti rugi akibat pencemaran barang yang diperdagangkan. Aturan ini juga berlaku untuk produk berupa jasa pelayanan.

 

Adapun ganti rugi atas kerusakan atau pencemaran yang dimaksud, meliputi hal-hal berikut ini.

  • Bentuk ganti rugi seperti yang tercantum dalam putusan sengketa konsumen bisa berupa pengembalian uang. Pun dapat berbentuk penggantian barang dan/atau jasa dengan nilai sama serta setara perawatannya.

 

  • Ganti rugi juga bisa berbentuk pemberian santunan berdasarkan aturan atau undang-undang yang berlaku saat itu.

 

  • Ada pula ganti rugi yang ditujukan untuk kerugian fisik sehingga mengakibatkan kehilangan pekerjaan, kecelakaan, atau penghasilan seumur hidup maupun sementara.

 

  • Pemberian sanksi administrasi berupa ganti rugi maksimal senilai Rp200.000.000 (dua ratus juta rupiah). Sanksi ini hanya dibebankan jika pihak yang bersengketa menggunakan metode arbitrase dalam penyelesaian perkara. Atau bisa juga diberlakukan saat pelaku usaha tidak melaksanakan ganti rugi dalam bentuk santunan, pengembalian uang, barang atau jasa senilai, serta perawatan kesehatan.

 

  • Sanksi administrasi juga diterapkan untuk pelanggar Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang mengakibatkan terjadinya kerugian akibat kegiatan produksi iklan. Biasanya, pelanggaran ini dilakukan oleh perusahaan periklanan.

 

  • Sanksi administrasi diberikan kepada pelaku usaha yang tidak mampu menyediakan fasilitas purna jual. Umumnya, berbentuk suku cadang, pemeliharaan, serta garansi—sesuai perjanjian awal dengna konsumen.

 

Aturan tersebut juga berlaku bagi pelaku usaha yang menjual jasa. Bahkan, gugatan kerugian perdata ini bisa berdampak pada tuntutan pidana melalui proses penyidikan dan pembuktian perkara. Terutama dengan adanya unsur kesalahan yang sengaja dilakukan oleh pelaku usaha.

Hal yang perlu diingat terkait ganti rugi adalah sifat kerugiannya. Jika kerugian tersebut bersifat nyata, BPSK pasti mengabulkan permintaan penggugat. Sebaliknya, Undang-Undang Perlindungan Konsumen tidak menghendaki atau mengizinkan BPSK untuk mengabulkan ganti kerugian immaterial.

Lantas, apa yang dimaksud gugatan ganti kerugian immaterial? Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen dijelaskan bahwa, gugatan teresbut mencakup hilangnya kesempatan mendapatkan keuntungan, kenikmatan, atau nama baik. Jadi, apa pun alasannya, pengajuan harus bersifat nyata sehingga BPSK bisa menjatuhkan sanksi setimpal kepada pelaku usaha.

 

Dalam memberikan putusan akhir sekaligus sanksi pada sengketa konsumen, beberapa ketentuan ini harus dipatuhi. Berikut penjelasannya.

  • Keputusan wajib dikeluarkan oleh majelis paling lambat 21 hari kerja sejak gugatan masuk dan diterima oleh BPSK.

 

  • Usai pemberitahuan putusan BPSK, paling lama 7 hari terhitung sejak pembacaan, pihak yang bersengketa wajib memberikan pernyataan menerima atau menolak. Jika salah satu menolak, maka pengajuan banding paling lama 14 hari; dimulai dari pengumuman putusan.

 

  • Putusan yang ditolak atau tidak dilaksanakan dapat dianggap sebagai kriminalisasi. Dalam masalah ini, BPASK berhak meminta bantuan penyidik untuk membawa perkara ke pengadilan negeri. Artinya, pengadilan memutuskan berdasarkan Undang-Undang Perlindungan konsumen Pasal 58 Ayat 2.

 

  • Jika putusan diterima oleh kedua belah pihak, pelaku usaha diberikan waktu 7 hari untuk menjalankan putusan. Pengaduan dianggap selesai saat pelaku usaha berhasil melakukan tugasnya dengan baik.

 

  • Untuk putusan BPSK yang tidak dipermasalahkan oleh pelaku usaha, harus segera dimintakan fiat.

 

  • Paling lambat 5 hari usai pengajuan keberatan, pelaku usaha tidak kunjung melaksanakan putusan, BPSK menyerahkan berkas perkara kepada penyidik.

 

# Persyaratan Pengaduan kepada BPSK

Jika ingin mengadukan sengketa konsumen ke BPSK, penggugat wajib mengisi formulir yang isinya identitas diri. Dari mulai nama, salinan KTP, alamat pengadu, dan alamat tergugat. Selain itu, perlu menuliskan kronologis kejadian, bukti lengkap—seperti kuitansi, nota pembelian, dan faktur pajak.

 

 

# Catatan Penting tentang Penyelesaian Sengketa Konsumen di BPSK

Sebagai lembaga yang dibentuk pemerintah RI, BPSK memiliki kewenangan lebih banyak dibandingkan lembaga penyelesaian sengketa konsumen lainnya. Pun prinsip dasarnya—seperti penjelasan Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga—yang selalu diterapkan sebagai berikut.

  • Konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa bisa memilih cara penyelesaian secara sukarela. Kesepakatan kedua pihak tak harus dipengaruhi oleh BPSK.

 

  • Penyelesaian sengketa di BPSK bukan berjenjang, melainkan pilihan alternatif. Artinya, jika pihak yang bersengketa tidak menemukan jalan keluar melalui mediasi dan konsiliasi, boleh menempuh jalur arbitrase. Tentunya, proses penyelesaian dimulai dari awal sesuai prosedur arbitrase.

 

  • Majelis BPSK wajib memberikan saran, masukan, serta keterangan seputar Undang-Undang Perlindungan Konsumen ketika kedua pihak memilih konsiliasi atau mediasi. Sederhananya, majelis BPSK bertugas sebagai fasilitator.

 

  • Pihak yang bersengketa dengan pilihan penyelesaian secara arbitrase harus menyerahkan perkara sepenuhnya kepada majelis BPSK. Dari mulai sidang sampai putusan ganti rugi di akhir proses.

 

  • Hal yang perlu diingat, penyelesaian masalah lewat BPSK tidak disertai pengacara. Jadi, hanya ada penggugat, tergugat, majelis, dan mungkin beberapa saksi serta saksi ahli.

 

  • Penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK tidak dipungut biaya apa pun.

 

 

Meskipun mudah dan simpel, penyelesaian lewat BPSK memiliki beberapa kendala, yaitu :

  • BPSK terkendala oleh kelembagaan; Kendala Kelembagaan.

 

  • minim pendanaan.

 

  • kekurangan sumber daya manusia yang andal dan profesional;

 

  • beberapa peraturan sering kali menghambat prosedur di BPSK;

 

  • tingkat pengawasan yang rendah serta pembinaan kurang intensif;

 

  • kurang koordinasi antara Aparat Penanggung Jawab;

 

  • kurang sosialisasi kebijakan di BPSK kepada masyarakat;

 

  • masyarakat kurang respons terhadap undang-undang terkait BPSK.

 

  • BPSK menggunakan model small claims tribunal. Konsep ini mempunyai potensi menjadi opsi penyelesaian sengketa konsumen terbaik dan paling diminati. Beberapa potensi tersebut, semisal BPSK sebagai jembatan antara tata cara ADR (Alternatif Dispute Resolution) yang sederhana dengan prosedur pengadilan yang memiliki otoritas. Perpaduan ini menciptakan keseimbangan antara pelaku usaha, konsumen, serta pemerintah. Bisa dibilang, BPSK merupakan penyelaras konflik kepentingan.

 

  • BPSK memiliki peran sebagai “Quasi Pengadilan Plus” yang menganut fungsi ajudikasi dan non-ajudikasi. Dengan begitu, pengelolaan sengketa di BPSK lebih terstruktur sehingga mampu menyelesaikan perkara secara adil.

 

  • Seberapa pun hebatnya BPSK dalam menyelesaikan perkara, pada kenyataannya lembaga ini kehilangan pamor. Masyarakat cenderung lebih mengenal LPKSM dan YLKI daripada BPSK. Bahkan, YLKI tergolong laris manis—menjadi tempat aduan bagi konsumen Indonesia.

 

Demikian ulasan seputar peranan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Indonesia (BPSK). Kaitannya dengan kemudahan proses menuntaskan perkara di BPSK, class action bisa diandalkan. Jadi, Anda tak perlu takut lagi untuk melaporkan pelanggaran atas UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ke BPSK.

 

BP Lawyers dapat membantu Anda

Apabila anda ingin berkonsultasi terkait permasalahan hukum, Anda dapat menghubungi kami melalui:

E: [email protected]

H: +62821 1000 4741

 

 

cc: igo

Seberapa membantu artikel ini menurut Anda?

TERBARU

PALING POPULER

KATEGORI ARTIKEL

PENDIRIAN BADAN USAHA

PENDAFTARAN MERK

LEGAL STORY