Syarat Perwalian Anak di Bawah Umur yang Ditinggal Kedua Orang Tuanya

Smartlegal.id -
Syarat Perwalian Anak di Bawah Umur yang Ditinggal Kedua Orang Tuanya

Informasi dan ulasan lengkap mengenai perwalian anak di bawah umur apabila kedua orang tuanya meninggal dunia.

 Menurut peraturan perundangan yang berlaku, anak dikatakan memasuki usia dewasa ketika ia telah berusia 18 tahun. Hingga usia tersebut, anak masih menjadi tanggung jawab kedua orang tuanya. Artinya, segala hal yang berkaitan dengan tumbuh kembang anak masih harus diputuskan oleh orang tuanya. Namun, bagaimana jika kedua orang tua dari sang anak harus berpisah karena perceraian atau bahkan meninggal dunia?

Jika demikian, anak yang masih di bawah umur tentu harus memiliki wali atau orang tua asuh. Tidak harus dari orang baru, hak asuh atas anak bisa diberikan kepada sanak saudara atau kerabat yang memiliki hubungan terdekat dengan sang anak. Tentu saja, menjadi orang tua asuh atau wali anak juga ada syaratnya. Jika ternyata pihak kerabat tidak mampu memenuhi persyaratan tersebut, maka hak asuh anak bisa diberikan kepada orang lain yang tidak memiliki hubungan keluarga dengan sang anak.

Lalu, bagaimana syarat perwalian untuk anak di bawah umur yang ditinggal kedua orang tuanya, atau dengan kata lain, orang tuanya meninggal dunia?

Penetapan Hak Waris Anak di Bawah Umur

perwalian anak di bawah umur

Harta waris adalah semua kekayaan, baik uang maupun benda milik seseorang yang diberikan kepada orang lain berdasarkan surat yang sering disebut wasiat. Termasuk apabila orang tua meninggal, biasanya harta benda dan segala aset kekayaan akan diwariskan kepada sang anak atau kerabat, bergantung pada pesan terakhir dari sang empunya. Lalu, bagaimana jika sang anak masih berada di bawah umur?

Meski secara sah semua peninggalan orang tua akan menjadi milik sang anak, tetapi kepemilikan ini belum sah hingga sang anak memasuki usia dewasa sesuai undang-undang, yaitu 18 tahun. Dengan begitu, anak tentu membutuhkan wali atau pengganti orang tua yang bertanggungjawab terhadap segala kebutuhan pribadi maupun pengurusan harta benda Si Anak.

Hal tersebut sesuai dengan isi Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang membahas tentang Pokok Perkawinan, yang berbunyi “Anak yang belum mencapai umu 18 atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali. Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya.”

  • Wewenang dan Larangan Bagi Wali Anak di Bawah Umur

Meski terlihat mudah, nyatanya menjadi wali bagi anak di bawah umur bukan perkara sepele. Tentu saja, ada hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh seorang wali terhadap anak asuhnya. Semua wewenang dan larangan bagi seorang wali pun diatur dalam perundangan yang berlaku.

  • Wewenang dan Larangan Wali Anak di Bawah Umur Berdasarkan Peraturan Perundangan

Aturan mengenai perwalian, termasuk segala wewenang dan larangannya tertulis dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mengenai Pokok Perkawinan Pasal 51 ayat (3) hingga (5). Ayat (3) pasal ini menjelaskan bahwa “Wali wajib mengurus anak yang di bawah penguasaannya dan harta bendanya dengan sebaik-baiknya dengan menghormati agama dan kepercayaan anak itu.”

Sementara itu, ayat (4) Pasal 51 undang-undang ini menyatakan: “Wali wajib membuat harta benda anak yang berada di bawah kekuasaannya pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua perubahan-perubahan harta benda anak atau anak-anak itu.” Pun, pada ayat (5), “Wali bertanggungjawab tentang harta benda anak yang berada di bawah perwaliannya serta kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan atau kelalaiannya.

Ada pun larangan yang harus dihindari oleh para wali atau orang tua asuh dari sang anak berdasarkan Undang-Undang Pokok Perkawinan Pasal 52 adalah “Wali tidak boleh memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 tahun atau belum pernah kawin, kecuali apabila kepentingan anak menghendaki.”

Selain Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, aturan mengenai wali terhadap pengasuhannya juga tertulis dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal 33 dan 34 undang-undang ini menyatakan bahwa “Wali yang ditunjuk berdasarkan penetapan pengadilan atau Mahkamah dapat mewakili anak untuk melakukan perbuatan hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak.”

Selain itu, ayat (2) dan (3) pasal ini juga menetapkan bahwa “Wali wajib mengelola harta milik anak yang bersangkutan untuk kepentingan anak di dalam maupun di luar pengadilan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak.”

  • Wewenang dan Larangan Wali Anak di Bawah Umur Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Selain peraturan perundangan, kewajiban dan larangan wali anak di bawah umur juga diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). berdasarkan Pasal 110 ayat (1) hingga (4), “Wali berkewajiban mengurus diri dan harta anak yang di bawah perwaliannya dan berkewajiban memberikan bimbingan agama, pendidikan, dan keterampilan lainnya.”

Selanjutnya, “Wali dilarang mengikat, membebani, dan mengasingkan harta anak yang berada di bawah perwaliannya, kecuali menguntungkan atau tidak dapat dihindarkan.” Lalu, “Wali bertanggungjawab terhadap harta anak dan mengganti kerugian yang timbul sebagai akibat kesalahan atau kelalaiannya”, dan bunyi ayat terakhir yang menyatakan bahwa “Pertanggungjawaban dari wali harus dibuktikan dengan pembuktian setiap tahun sekali.”

Dapatkah Wali Menyalahgunakan Perwalian untuk Menjual Tanah Milik Anak di Bawah Umur?

Bukan tidak mungkin seorang anak yang masih di bawah umur memiliki harta kekayaan yang berlimpah, baik uang, aset properti, tanah, hingga kendaraan. Meski begitu, anak di bawah umur dianggap belum mampu untuk mengurus kekayaan pribadinya sendiri. Oleh karena itulah dibutuhkan ahli waris atau wali yang bertanggungjawab terhadap segala kekayaan sang anak.

Lalu, apakah sang wali memiliki hak untuk menjual tanah atau kekayaan lain milik sang anak dengan alasan tertentu? Ternyata hal ini diperbolehkan, selama ahli waris atau wali memiliki Surat Penetapan Perwalian Anak yang telah disahkan oleh Pengadilan Negeri setempat. Selanjutnya, wali harus mengajukan surat izin penjualan harta benda milik anak asuh di bawah umur.

Sesuai dengan isi Pasal 362 KUHPer yang menyatakan bahwa “Wali berwajib segera setelah perwaliannya mulai berlaku, di bawah tangan Balai Harta Peninggalan mengangkat sumpah, bahwa ia akan menunaikan perwalian yang dipercayakan kepadanya dengan baik dan tulus hati.” Nantinya, akan ada surat pemberitahuan berikut surat persetujuan untuk menjaminkan harta dengan nama sang anak.

Apabila sang ahli waris atau wali dari sang anak ingin menjual tanah atau kekayaan milik anak tersebut, syarat utama yang harus dimiliki adalah Surat Keterangan Waris (SKW) yang asli dari orang tua anak atau pihak pemberi waris. Jika pihak pengadilan tidak menyetujui atau mengizinkan adanya penjualan harta benda sang anak, maka wali tetap tidak bisa menjual warisan tersebut.

  • Syarat Penetapan Pengadilan Anak di Bawah Umur

Dalam melakukan transaksi penjualan terhadap harta benda, wali tidak hanya harus mengantongi Surat Keterangan Waris (SKW) dari pemberi waris, terlebih jika salah satu ahli warisnya adalah anak di bawah umur. Agar proses penjualan harta benda berupa tanah dapat berlangsung tanpa kendala, maka dibutuhkan Surat Penetapan yang berasal dari Pengadilan Negeri

Hal ini sesuai dengan isi Pasal 309 juncto 393 dari KUHPer yang menyatakan bahwa pengalihan hak milik dari anak yang berada dalam kategori di bawah umur harus berdasarkan pada penetapan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri Setempat. Demi mendapatkan penetapan ini, wali harus mengajukan permohonan perwalian berikut segala berkas dan dokumen baik sang wali maupun sang anak.

Meski begitu, banyak pihak yang tidak mematuhi peraturan ini, karena berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, tidak disebutkan bahwa pengalihan hak milik dari anak di bawah umur harus melalui penetapan dari Pengadilan Negeri. Meski begitu, Kantor Pertahanan biasanya mewajibkan adanya Penetapan dari Pengadilan Negeri, atau pada intinya mengacu pada KUHPer. Pasalnya, isi dari undang-undang tersebut dinilai tidak kuat dalam memberikan perlindungan kepentingan dari anak di bawah umur.

  • Permohonan Perwalian Anak di Pengadilan Agama

Agar mendapatkan hak perwalian yang sah secara agama dan hukum, calon wali harus membuat surat permohonan perwalian terlebih dahulu. Jika sang anak atau wali menganut agama Islam, maka permohonan perwalian anak bisa diajukan ke Pengadilan Agama setempat. Namun, jika sang anak atau calon wali menganut agama selain Islam, permohonan perwalian anak dapat diajukan ke Pengadilan Negeri.

Dalam surat permohonan yang diajukan, calon wali diharuskan adalah seorang ayah atau ibu yang telah memberikan segala informasi yang sejelas-jelasnya kepada pihak Pengadilan Agama, seperti misalnya akta nikah untuk calon wali yang memang telah menikah. Akan lebih baik jika pemohon melampirkan bukti-bukti dokumen untuk menguatkan permohonan.

Pastikan alamat yang dituju benar untuk kantor Pengadilan Agama, karena nantinya akan dilakukan pengecekan keaslian dan kebenaran surat tersebut. Kesalahan pada surat bisa dianggap cacat formil oleh pihak pengadilan, dan akan mengakibatkan tidak disetujuinya permohonan untuk perwalian anak. Apabila surat permohonan disetujui, maka pihak pengadilan akan melakukan persidangan untuk pemutusan.

  • Bagaimana Menentukan Wali Seorang Anak ketika Kedua Orang Tuanya Meninggal?

Pengasuhan dan perwalian anak di bawah umur diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Pokok Perkawinan dalam Pasal 45 ayat (2), yang menyatakan bahwa “Orang tua berkewajiban memelihara dan mendidik anak sebaik-baiknya sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, dan kewajiban itu berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua itu putus.”

Ini artinya, hak asuh dan wali anak berada di sepenuhnya di tangan kedua orang tuanya, meski ayah dan ibunya tak lagi bersama dalam ikatan atau bercerai. Lalu, bagaimana hukum perwalian dan pengasuhan apabila salah satu atau kedua orang tua dari sang anak tersebut meninggal dunia?

Berdasarkan Pasal 105 ayat (a) Kompilasi Hukum Islam (KHI), “Pemeliharaan anak yang berumur 12 tahun, atau yang disebut dengan mumayyiz menjadi hak ibunya.” Pasal ini menyatakan bahwa ketika terjadi perceraian, maka ibu akan sepenuhnya menjadi orang tua asuh atau wali sang anak. Begitu pula jika ayah dari sang anak tersebut meninggal dunia. Namun, ibu harus mendapatkan izin resmi dari pengadilan untuk sepenuhnya menjadi wali anak.

Selanjutnya, Pasal 105 ayat (b) menyatakan bahwa “Pemeliharaan anak yang sudah cukup umur atau mumayyiz akan diserahkan kepada sang anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya.” Jika ternyata kedua orang tua sang anak telah meninggal dunia, maka anak akan diberikan kebebasan untuk memilih, apakah ingin tinggal bersama sanak keluarga lain ataukah hidup sendiri secara mandiri.

Pun, setiap keluarga atau orang lain juga berhak menjadi wali sang anak yang masih di bawah umur. Dalam Pasal 156 ayat (c), tertulis bahwa “Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat Pengadilan Agama dapat memindahkan hak asuhnya kepada kerabat lain.”

Kondisi ini terjadi ketika sang ibu yang menjadi orang tua asuh langsung sang anak ketika terjadi perceraian atau ayah dari sang anak meninggal dunia menunjukkan sikap yang tidak baik dan memicu dampak buruk bagi tumbuh kembang anak. Jika kedua orang tua sang anak ternyata meninggal dunia, siapa pun pihak kerabat atau orang lain yang ingin menjadi wali, perlu mengajukan permohonan kepada Pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri setempat.

  • Siapa yang Berhak Menjadi Wali Seorang Anak di Bawah Umur ketika Orang Tuanya Meninggal?

Kepergian orang tua pasti meninggalkan duka yang mendalam bagi anak, terlebih jika ia belum cukup umur dan masih membutuhkan kasih sayang dan perhatian. Lalu, bagaimana aturannya jika hal tersebut terjadi?

Berdasarkan KUHPer, penunjukan wali anak di bawah umur harus didasarkan pada persetujuan kedua orang tua. Namun, karena dalam kasus ini orang tua sang anak telah tiada, maka persetujuan ini bisa ditangguhkan. Biasanya, penunjukan seorang wali akan didasarkan pada isi surat wasiat dari orang tua.

Kondisi ini sesuai dengan Pasal 355 ayat (1) KUHPer yang menyebutkan bahwa “Masing-masing orang tua, yang melakukan kekuasaan orang tua atau perwalian bagi seorang anaknya atau lebih berhak mengangkat seorang wali bagi anak-anak itu, jika kiranya perwalian itu setelah ia meninggal dunia demi hukum atau pun karena penetapan Hakim menurut ayat terakhir Pasal 353, tidak harus dilakukan oleh orang tua yang lain.”

Dengan begitu, setiap orang tua berhak menunjuk satu wali untuk sang anak selama posisi tersebut masih terbuka, dan nantinya keputusan akhir perwalian akan ditentukan oleh hakim. Pada dasarnya, semua kerabat, atau orang yang ditunjuk oleh orang tua anak berhak menjadi wali dari sang anak. Meski begitu, penunjukan ini pun tetap bisa ditangguhkan jika sang wali yang ditunjuk tidak memenuhi persyaratan perwalian.

Seperti pada Pasal 332b (1) KUHP yang berbunyi, “Perempuan bersuami tidak boleh menerima perwalian tanpa bantuan dan izin tertulis dari suaminya.” Meski begitu, apabila suami tidak memberikan jawaban, maka perizinan bisa dilakukan dari badan hukum.

Inilah Bahaya Menyalahgunakan Hak Perwalian Anak di Bawah Umur

Waspada!-Ini-13-Alasan-Perceraian-di-Indonesia

Faktanya, menjadi wali bukan perkara mudah, karena kapan saja, hak perwalian seseorang bisa terlepas dan tercabut dari sang anak. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 52 menyatakan bahwa wali dapat dicabut dari kekuasaannya apabila terbukti melanggar isi dari Pasal 49, yaitu: wali sangat melalaikan kewajibannya terhadap anak perwalian tersebut; dan wali berkelakuan buruk sebagai walinya.

Jika memang terdapat bukti akan adanya pelanggaran tadi, maka pengadilan berhak untuk menunjuk wali lain, sebagaimana tertulis dalam Pasal 53 ayat (2) undang-undang ini. Lalu, Pasal 54 pun menyatakan, “Wali yang telah menyebabkan kerugian pada harta benda anak yang berada di bawah kekuasannya, atas tuntutan anak atau keluarga anak tersebut dengan keutusan pengadilan, yang bersangkutan dapat diwajibkan untuk mengganti kerugian tersebut.”

  • Perwalian Anak di Bawah Umur dalam Hukum Islam dan Undang-Undang

Masalah perwalian anak tentu tidak sembarangan, karena penunjukan berikut tugas dan kewajibannya telah diatur baik dalam undang-undang maupun dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, masalah Perwalian Anak di Bawah Umur diatur dalam Pasal 50 yang membahas tentang pengertian wali dan cakupan tanggung jawabnya.

Selanjutnya, dalam Pasal 50 ayat (1) juga disebutkan tentang syarat seorang anak di bawah umur yang berhak mendapatkan perwalian. Berikut Pasal 51 yang membahas mengenai terjadinya perwalian, yang bisa diperoleh melalui penunjukan oleh kedua orang tua dalam surat wasiat. Lalu, penunjukan wali yang dapat berasal dari keluarga anak atau orang lain yang sudah dewasa. Dalam pasal ini juga dibahas tentang kewajiban wali dalam mengurus anak dan segala harta bendanya untuk kepentingan sang anak.

Sementara itu, dalam Kompilasi Hukum Islam, perwalian dan hak asuh anak diatur sepenuhnya pada Pasal 107 hingga 110. Dalam Pasal 107, dinyatakan bahwa “Perwalian hanya dapat dilakukan terhadap anak yang belum berumur 21 tahun dan atau belum pernah melangsungkan perkawinan.” Perwalian ini, tentu saja, mencakup diri dan harta sang anak.

Pada Pasal 109, dikatakan bahwa hak seorang wali dapat dicabut oleh Pengadilan Agama dan memindahkannya kepada pihak lain jika wali menunjukkan sikap yang merugikan dan berdampak buruk terhadap sang anak. Lalu, Pasal 110 yang menyebutkan bahwa wali bertugas dan bertanggungjawab untuk mengurus diri dan harta orang yang berada di bawah perwaliannya, wajib memberi bimbingan agama, pendidikan, dan berbagai keterampilan lainnya kepada sang anak.

Macam Perwalian Anak dalam Hukum Islam

Dalam hukum Islam, pengaturan perwalian terhadap anak di bawah umur juga memiliki bagian-bagiannya sendiri. Ada pun macam perwalian terhadap anak di bawah umur seperti yang terdapat dalam hukum Islam adalah sebagai berikut:

  • Perwalian Jiwa atau Diri Pribadi

Dalam perwalian ini, wali bertanggungjawab untuk mengurus segala kepentingan yang menyangkut pribadi sang anak, mulai dari pengasuhan, pemeliharaan, hingga pemberian pendidikan dan keterampilan, termasuk pula segala kebutuhan dari sang anak.

  • Perwalian Harta

Dalam perwalian ini, sang wali diwajibkan untuk mengurus harta benda kepunyaan sang anak sejak dimulainya perwalian hingga usia sang anak dewasa atau 21 tahun atau telah melangsungkan perkawinan dalam aturan Islam. Jika usia sang anak telah menyentuh angka tersebut, maka wali diharuskan untuk mengemabalikan semua harta tersebut kepada sang anak, karena anak telah dinilai mampu mengurus hidupnya sendiri.

  • Perwalian Jiwa dan Harta

Terakhir adalah perwalian jiwa dan harta, yang biasanya ditujukan untuk anak yatim piatu atau orang yang tidak mampu bertindak dan memahami hukum, seperti misalnya orang yang kehilangan kewarasannya. Ini artinya, sang wali bertanggungjawab sepenuhnya terhadap pribadi sekaligus harta benda sang anak.

Demikian tadi ulasan lengkap mengenai syarat perwalian anak di bawah umur yang ditinggal kedua orang tuanya berikut aturan yang berlaku bagi wali sesuai dengan undang-undang negara dan agama. Dengan adanya informasi ini, diharapkan anak di bawah umur mendapatkan perlindungan sepenuhnya terhadap diri dan harta benda yang diwariskan kepadanya dari kedua orang tuanya. Pula, perwalian anak tidak jatuh ke orang yang tidak bertanggungjawab. Semoga bermanfaat.

Baca juga: Serba- serbi hak asuh anak setelah perceraian

Ingin mengajukan pertanyaan mengenai hak perwalian anak,  kami siap membantu Anda, silakan hubungi Kantorpengacara.co di +62 812-9797-0522 atau email ke [email protected]

cc: INDONESIAGO DIGITAL

Seberapa membantu artikel ini menurut Anda?

TERBARU

PALING POPULER

KATEGORI ARTIKEL

PENDIRIAN BADAN USAHA

PENDAFTARAN MERK

LEGAL STORY