Bolehkah Leasing Melakukan Penarikan Paksa Kendaraan Nasabah?

Smartlegal.id -
Bolehkah-Leasing-Melakukan-Penarikan-Paksa-Kendaraan-Nasabah

Suatu hari Amir sedang berkendara menggunakan motor yang ia beli dengan fasilitas pembiayaan yang disediakan Perusahaan B. Namun, di tengah jalan Amir diminta berhenti oleh tiga orang debt collector yang ingin menarik motor karena Amir terlambat melakukan pembayaran cicilan motor selama tiga bulan.

Atas fasilitas pembiayaan tersebut, Amir dan Perusahaan B sebenarnya telah membuat Perjanjian Pembiayaan Bersama Dengan Penyerahan Hak Milik Secara Fidusia atas Motor di hadapan Notaris. Namun, penarikan motor oleh debt collector dilakukan tanpa menunjukkan Sertifikat Jaminan Fidusia. Amir pun tak berdaya dan akhirnya merelakan motornya ditarik paksa darinya.

Cerita di atas jamak kita dengar dalam masyarakat dewasa ini. Terlebih dengan kian maraknya pemberian fasilitas pembiayaan atau kredit kepada masyarakat. Dalam praktiknya, perusahaan pembiayaan/kredit biasanya membebankan jaminan fidusia kepada benda yang dijadikan objek pembiayaan.

Adapun berdasarkan Undang-Undang No.42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (“UU No.42/1999”), Fidusia didefinisikan sebagai suatu proses mengalihkan hak milik atas suatu benda dengan dasar kepercayaan, tapi benda tersebut masih dalam penguasaan pihak yang mengalihkan.

Fidusia umumnya dimasukkan dalam perjanjian kredit kendaraan bermotor atau benda bergerak lainnya serta bangunan yang tidak dapat dibebankan dengan Hak Tanggungan.

Pembebanan jaminan fidusia atas suatu benda memberikan hak kepada kreditur selaku Penerima Fidusia untuk mengambil pelunasan terlebih dahulu atas piutangnya kepada debitur Pemberi Jaminan Fidusia (debitur) (droit de preferren/ Hak Preferen) (Pasal 27 ayat (1) UU No.42/1999).  Karena Hak Preferen yang dimiliki oleh Kreditur, maka apabila debitur/pemberi fidusia cidera janji, debitur wajib menyerahkan benda yang dijadikan objek fidusia dalam rangka pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia.

Dalam contoh Amir diatas, bila pembebanan jaminan fidusia atas motor Amir dilakukan sesuai ketentuan UU No.42/1999, maka keterlambatan pembayaran cicilan motor merupakan bentuk wanprestasi dan Amir wajib menyerahkan motornya kepada Perusahaan B untuk kemudian dilakukan eksekusi berupa penjualan motor dalam rangka pelunasan utang kepada Perusahaan B.

Tahapan Jaminan Fidusia
Agar jaminan fidusia dapat berlaku efektif (memiliki kekuatan eksekutorial dan melekatkan hak preferen kepada kreditur, maka pembebanan jaminan fidusia harus dilakukan dengan dua tahap, yaitu:

Ad. 1 Tahap Pembebanan Objek Fidusia
Tahap pembebanan berarti proses pembuatan Akta Jaminan Fidusia yang harus dilakukan di hadapan notaris dalam bahasa Indonesia (Pasal 5 ayat (1) UU No.42/1999). Akta Jaminan Fidusia ini memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna dan menerangkan bahwa para pihak telah mengerti dan memahami isi dari Akta Jaminan Fidusia seperti misalnya: nilai penjaminan, nilai benda yang dijadikan objek fidusia, dll, utang yang telah ada, utang yang akan timbul dikemudian hari, pelaksanaan eksekusi, dll.

Ad. 2 Tahap Pendaftaran Fidusia
Tahap pendaftaran berarti proses mendaftarkan objek fidusia ke Kantor Pendaftaran Fidusia yang dilaksanakan di tempat kedudukan Pemberi Fidusia (Pasal 11 dan 12 UU No.42/1999). Pendaftaran objek fidusia ini diperlukan guna memenuhi asas publisitas dan memberikan jaminan kepada pihak ketiga mengenai objek fidusia.

Setelah pendaftaran fidusia dilaksanakan, selanjutnya Kantor Pendaftaran Fidusia akan mengeluarkan Sertifikat Jaminan Fidusia yang memiliki kekuatan eksekutorial yakni memiliki derajat yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Adapun berdasarkan ketentuan Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan No.130/PMK.010/2012 tentang Pendaftaran Jaminan Fidusia bagi Perusahaan Pembiayaan yang melakukan Pembiayaan Konsumen untuk Kendaraan Bermotor dengan Pembebanan Jaminan Fidusia (“PMK No.130/2012”) diatur pula bahwa perusahaan pembiayaan dilarang melakukan penarikan benda jaminan fidusia kendaraan bermotor apabila Kantor Pendaftaran Fidusia belum menerbitkan Sertifikat Jaminan Fidusia dan menyerahkannya kepada perusahaan pembiayaan.

Lebih lanjut, pelaksanaan eksekusi atas objek fidusia harus tetap mengikuti prosedur pelaksanaan suatu keputusan pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 196 ayat (3) HIR (Herzien Indonesis Reglement) dimana kreditur diwajibkan mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri agar dilaksanakan eksekusi atas objek jaminan Fidusia berdasarkan titel eksekutorial Sertifikat Jaminan Fidusia tersebut.

Kembali kepada kasus Amir dan Perusahaan B diatas, para pihak telah memenuhi tahapan pertama dalam pembebanan jaminan fidusia, yaitu pembuatan Akta Jaminan Fidusia dihadapan Notaris. Akan tetapi, Akta Jaminan Fidusia tersebut tidak didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia. Sehingga, proses pembebanan jaminan fidusia dianggap belum sempurna.

Dengan demikian, Perusahaan B tidak boleh mengambil paksa motor Amir. Tindakan yang diambil oleh Perusahaan B tersebut dapat diganjar dengan sanksi administratif berdasarkan Pasal 5 PMK No.130/2012 berupa:

  1. Peringatan;
  2. Pembekuan kegiatan usaha; atau
  3. Pencabutan izin usaha

Perampasan objek fidusia tanpa Sertifikat Jaminan Fidusia juga berpotensi dijerat ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata tentang Perbuatan Melawan Hukum atau tindak pidana pemaksaan dan ancaman perampasan sebagaimana diatur Pasal 365 KUHPidana.

Author: Lita Paromita Siregar

Anda punya pertanyaan atau permasalahan terkait fidusia? Kami dapat membantu Anda. Hubungi kami di +62821-1000-4741 atau email ke [email protected]

Seberapa membantu artikel ini menurut Anda?

TERBARU

PALING POPULER

KATEGORI ARTIKEL

PENDIRIAN BADAN USAHA

PENDAFTARAN MERK

LEGAL STORY