Penayangan Film Hanya Bisa di Satu Platform? Hati-Hati Praktik Monopoli!

Smartlegal.id -
Penayangan Film
Penayangan Film

“Dalam penayangan film mengandung hak cipta yang memberikan keeksklusifan terhadap pencipta ataupun pemegang hak cipta”

Kehadiran layanan video streaming dapat dikatakan sebagai penolong masyarakat di kala masa Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang menyebabkan masyarakat harus mengoptimalkan aktivitas secara online.

Layanan video streaming atau dikenal juga dengan istilah Video on Demand (VoD) tersebut memberikan kelebihan penayangan film yang dapat secara bebas dipilih apa pun, kapan pun, dan dimanapun dengan hanya modal koneksi internet. 

Sekarang ini, masyarakat dapat dengan mudah menemukan layanan VoD mulai dari produk bangsa hingga mancanegara seperti Vidio, Mola, Netflix, Disney+ Hotstar.

Akibat banyaknya platform VoD yang bermunculan di Indonesia tentu diperlukannya strategi yang dapat menarik masyarakat untuk memilih berlangganan pada platform VoD tersebut.

Hal ini juga yang menjadi daya pembeda dengan bioskop ataupun program televisi. Penayangan film di bioskop kerap memiliki tayangan yang sama, sedangkan program televisi menggunakan kreativitas masing-masing saluran tv.

Dengan demikian, film yang ditayangkan dalam suatu VoD besar kemungkinan berbeda-beda bahkan dapat pula terjadi untuk mengakses suatu film hanya ditemukan pada platform tertentu, seperti sekuel film MARVEL yang hanya dapat dinikmati di Disney+ Hotstar.

Lantas apakah hal tersebut dapat menimbulkan praktik monopoli dalam suatu platform VoD dan menimbulkan persaingan usaha tidak sehat?

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Monopoli), praktik monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang menjadikan dikuasainya produksi dan/atau pemasaran atas barang dan/atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum (Pasal 1 angka 2 UU Monopoli).

Sedangkan persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha (Pasal 1 angka 6 UU Monopoli)

Lebih lanjut dijelaskan pada Pasal 17 ayat (2) huruf b UU Monopoli, Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha barang dan/atau jasa yang sama.

Apabila disandarkan dengan contoh di atas, maka terlihat bahwa perjanjian eksklusif penayangan sekuel film MARVEL pada Disney+ Hotstar mengakibatkan platform VoD lainnya tidak dapat melakukan penayangan yang sama.

Baca juga: Hati-Hati! Nekat Menayangkan Film Tidak Lulus Sensor Bisa Kena Pidana 

Berdasarkan pengertian hal tersebut memang mengindikasikan terjadinya praktik monopoli dan dapat menimbulkan persaingan tidak sehat, tetapi hal tersebut tidak semata-mata dapat dibenarkan, sebab harus pula memenuhi unsur sebagai berikut:

  • Merugikan kepentingan umum;

Dalam UU Monopoli tidak dijelaskan lebih lanjut terkait hal kerugian seperti apa yang dirasakan merugikan kepentingan umum. Namun, apabila perjanjian eksklusif tersebut tidak membawa kerugian terhadap kepentingan umum yang berkaitan dengan kemaslahatan masyarakat ataupun ekonomi Indonesia, melainkan hanya kecemburuan semata platform VoD lainnya tidak dapat dikategorikan telah merugikan kepentingan umum.

  • Tidak Jujur; atau

Selain itu, kemungkinan terdapat indikasi tidak jujur dari pelaku usaha dapat dikatakan sebagai salah satu faktor terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Hal ini tentu saja menjadi landasan yang berbeda saat mengatakan bahwa penayangan sekuel film MARVEL pada Disney+ Hotstar akibat ketidakjujuran, sebab Disney+ Hotstar secara terang-terangan menayangkan sekuel film MARVEL.

  • Melawan Hukum

Sebagai platform penayangan sebuah film, tentu memiliki hak cipta di dalamnya. Hal ini disebabkan karya sinematografi (film) termasuk ke dalam hak cipta (Pasal 40 ayat (1) huruf m Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU HC)

Sebagai pencipta atau pemegang hak cipta memiliki keleluasaan dalam memanfaatkan ekonomi yang dapat diperoleh dari suatu ciptaan salah satunya melalui lisensi (Pasal 81 UU HC).

Selanjutnya, diatur bahwa saat pencipta atau pemegang hak cipta yang telah menjual atau mengalihkan hak distribusi ciptaan atau salinannya kepada pihak lain tidak lagi memiliki hak untuk menjalankan hak ekonomi tersebut (Pasal 11 ayat (1) UU HC).

Tidak hanya itu, keseluruhan hak ekonomi yang telah dialihkan pencipta atau pemegang hak cipta baik seluruhnya atau sebagian tidak dapat dialihkan untuk kedua kalinya oleh pencipta atau pemegang hak cipta terdahulu kepada pihak lain (Pasal 17 ayat (1) UU HC).

Artinya, berdasarkan UU HC diperbolehkan akan terjadinya perjanjian eksklusif yang mengakibatkan pemanfaatan atas suatu hak ekonomi ciptaan hanya pada satu pihak (dalam hal ini Disney+ Hotstar).

Dengan demikian, dalam suatu platform VoD penayangan suatu film pada platform tertentu atau eksklusif pada satu platform VoD saja tidak termausk ke dalam praktik monopoli dan tidak pula menimbulkan persaingan usaha tidak sehat sepanjang tidak merugikan kepentingan umum dan jujur, ataupun tidak merugikan kepentingan umum dan tidak melawan hukum.

Selain karena tidak memenuhi unsur praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat secara sempurna, hak cipta memberikan hak eksklusif kepada  pencipta ataupun pemegang hak cipta dalam menjalankan hak yang dimilikinya.

Punya pertanyaan terkait hak kekayaan intelektual atau perlu bantuan dalam mendaftarkannya? Konsultasikan kepada Kami! Segera hubungi SmartLegal.id dengan menekan tombol di bawah ini.

Author: Indira Nurul Anjani

Seberapa membantu artikel ini menurut Anda?

TERBARU

PALING POPULER

KATEGORI ARTIKEL

PENDIRIAN BADAN USAHA

PENDAFTARAN MERK

LEGAL STORY