Nirvana Digugat Karena Hak Cipta, Gimana Menurut Hukum Indonesia?

Smartlegal.id -
Nirvana digugat hak cipta
Nirvana digugat hak cipta

“Berkaca pada kasus Nirvana yang digugat karena hak cipta, mekanisme gugatan ganti rugi hak cipta menurut hukum Indonesia dapat dilakukan apabila terdapat pihak terkait yang dirugikan.”

Spencer Elden yang merupakan seorang pria menggugat band Nirvana. Dulunya, Elden merupakan bayi yang pernah menjadi model dalam sampul album Nevermind pada tahun 1991. Lebih lanjut, Elden yang kini berusia 30 tahun menuntut Nirvana atas kasus pornografi pada anak.  

Dalam sampul itu terlihat Elden sebagai anak bayi berusia empat bulan di kolam renang, yang menggenggam uang dolar yang digantung di depannya pada tali pancing. Elden menggugat ganti rugi masing-masing 15 terdakwa sebanyak Rp2 miliar. Ini meliputi anggota band yang masih hidup Dave Grohl dan Krist Novoselic, lalu manajer Kurt Cobain, mantan istri Cobain, Courtney Love, dan fotografer Kirk Weddle.  

Hingga saat ini, perwakilan Nirvana dan label rekaman mereka belum menanggapi gugatan tersebut. Lantas, bagaimana kasus Nirvana yang digugat karena hak cipta apabila dilihat melalui kacamata hukum Indonesia, terutama dalam hal mekanisme penyelesaian sengketa hak cipta?

Mengenal Gugatan Ganti Rugi Hak Cipta di Indonesia

Dalam mengajukan gugatan hak cipta ke Pengadilan Niaga atas pelanggaran hak cipta harus cermat dan tepat dalam menentukan dalil dan tuntutan (petitum). Hal ini berkaitan dengan apa yang digugat dan siapa yang harus digugat. 

Apabila tidak tepat dalam membangun dalil dan menentukan petitum, maka konsekuensinya gugatan mudah dipatahkan hingga berimbas gugatan tidak dapat diterima oleh Majelis Hakim karena gugatan tidak jelas (obscure libel) atau gugatan salah pihak (error in persona). Dalam praktiknya gugatan pembatalan dan ganti kerugian dapat dilakukan secara bersamaan atau penggugat dapat memilih salah satunya.

Baca juga: Ini Dia! Macam-Macam Penyelesaian Sengketa Hak Cipta

Hak cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (“Undang-Undang Hak Cipta“) merupakan hak eksklusif yang terdiri atas hak moral dan hak ekonomi. Sengketa yang sering muncul atas pelanggaran hak cipta selalu berhubungan dengan siapa yang menciptakan suatu ciptaan dan hasil dari komersialisasi suatu ciptaan. 

Adapun menurut Pasal 1 angka 1 UU Hak Cipta, Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan Pasal 96 ayat (1) Undang-Undang Hak Cipta telah ditentukan bahwa pencipta, pemegang Hak Cipta dan/atau pemegang Hak Terkait atau ahli warisnya yang mengalami kerugian hak ekonomi berhak memperoleh ganti rugi. Adapun yang disebut dengan hak ekonomi adalah hak untuk memperoleh keuntungan ekonomi atas suatu ciptaan (Pasal 8 UU Hak Cipta). Dikatakan sebagai hak ekonomi karena hak cipta termasuk benda bergerak yang dapat dinilai dengan uang.

Hak cipta sebagai hak ekonomi dapat dilihat dari penerapan hak eksklusif. Pencipta dan atau pihak yang memiliki hak terkait memperoleh keuntungan materi atas distribusi ciptaan melalui penjualan. Demikian pula dengan lisensi yang diberikan kepada pihak lain untuk memproduksi, memperbanyak dan menjual hasil ciptaan adalah bukan bukan semata-mata karena perbuatan memberi izin saja melainkan pencipta atau pemegang hak cipta juga bertujuan untuk memperoleh keuntungan dari perbuatan tersebut (royalti). 

Berkaitan dengan lisensi, Pasal 80 UU Hak Cipta mengatur bahwa pemegang hak cipta dapat memberikan lisensi melalui perjanjian tertulis. Perjanjian lisensi ini berlaku selama jangka waktu tertentu, dan tidak melebihi masa berlaku hak cipta, yakni seumur hidup pencipta, dan terus berlangsung selama 70 tahun setelah pencipta meninggal dunia (Pasal 80 ayat (2) Jo. Pasal 58 ayat (1) UU Hak Cipta). Tentunya, dalam perjanjian lisensi ini disertai dengan kewajiban penerima lisensi untuk memberikan royalti (keuntungan) kepada pemegang hak cipta (Pasal 80 ayat (3) UU Hak Cipta).

Baca juga: Yuk Kenali Lisensi Creative Commons, Agar Tidak Melanggar Hak Cipta!

Hal ini memang wajar pencipta atau pemegang hak cipta ikut serta mendapat bagian keuntungan, karena pihak yang diberi lisensi mendapatkan keuntungan dari pemberian lisensi tersebut. Apabila pihak yang merasa dirugikan atas pelanggaran hak ekonomi atau merasa dirugikan atas proses distribusi komersial suatu ciptaan maka upaya hukum yang dapat ditempuh adalah melayangkan gugatan ganti kerugian atas pelanggaran hak cipta.

Author: Athallah Zahran Ellandra



Seberapa membantu artikel ini menurut Anda?

TERBARU

PALING POPULER

KATEGORI ARTIKEL

PENDIRIAN BADAN USAHA

PENDAFTARAN MERK

LEGAL STORY