Apakah Anak Angkat Berhak Jadi Ahli Waris?
Smartlegal.id -
Masalah pewarisan menjadi semakin kompleks jika dalam keluarga pewaris terdapat anak angkat. Hal ini dikarenakan anak angkat bukan merupakan anak yang memiliki hubungan darah. Sedangkan syarat utama pewarisan adalah adanya hubungan darah. Lalu, bagaimana sebenarnya kedudukan anak angkat itu dalam persoalan warisan?
Oleh karena ada beberapa sistem hukum waris yang berlaku di Indonesia, maka dalam artikel ini akan membahas dari sisi hukum waris Islam dan aspek hukum perdata.
1. Waris anak angkat dalam perspektif Hukum Islam
Waris menjadi salah satu pengaturan utama yang ada dalam Hukum Islam di Indonesia. Jika menilik dari beberapa pasal dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), anak angkat diatur secara khusus mengenai bagian waris yang berhak ia dapatkan. Sesuai dengan Pasal 171 huruf h KHI, disebutkan:
Anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan Pengadilan.
Dalam definisi tersebut ditemukan bahwa hak anak angkat tersebut yang beralih dari orang tua asal kepada orang tua angkat hanya mendapatkan pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan, dan sebagainya. Sedangkan pemeliharaan sendiri sesuai dengan Pasal 1 huruf g dinyatakan sebagaimana berikut:
Pemeliharaan anak atau hadhonah adalah kegiatan mengasuh, memelihara, dan mendidik anak hingga dewasa atau mampu berdiri sendiri.
Yang perlu digarisbawahi adalah pemeliharaan anak tersebut tidak berarti bahwa hubungan darah anak angkat tersebut dengan orang tua kandungnya menjadi terputus. Karena yang beralih hanya tanggung jawab orang tua angkat untuk memenuhi hajat hidupnya. Dimana tidak otomatis menjadikan antara anak angkat dan orang tua angkat memiliki hubungan darah. Padahal jika ditilik dari definisi ahli waris dalam Hukum Islam sesuai dengan Pasal 171 huruf c yakni:
Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi pewaris.
Namun demikian, walaupun anak angkat tidak mendapatkan warisan dari orang tua angkatnya yang meninggal, Hukum Islam tidak serta merta menelantarkan hak anak angkat atas harta yang ditinggalkan orang tua angkatnya. Hukum Islam mengantisipasi keadaan tersebut dengan ketentuan tentang wasiat. Sesuai dengan Pasal 194 disebutkan bahwa:
- Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapat mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada orang lain atau lembaga.
- Harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari pewasiat.
- Pemilikan terhadap harta benda seperti dimaksud dalam ayat (1) pasal ini baru dapat dilaksanakan sesudah pewasiat meninggal dunia.
Sedangkan wasiat ini sendiri dapat diberikan kepada anak angkat untuk menjamin harta yang dapat ia peroleh setelah orang tua angkatnya meninggal. Namun, apabila orang tua angkatnya belum mempersiapkan wasiat, dapat berlaku ketentuan Pasal 209 ayat (2) yakni:
Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.
Berdasarkan doktrin dari Drs. H. Andi Syamsu Alam, S.H., M.H. dan Drs. H. M. Fauzan, S.H., M.M. dalam bukunya yang berjudul, “Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam”, diketahui bahwa wasiat wajibah adalah wasiat yang diwajibkan berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang diperuntukkan bagi anak angkat atau orang tua angkatnya yang tidak diberi wasiat sebelumnya oleh orang tua angkat atau anak angkatnya dengan jumlah maksimal 1/3.
2. Waris anak angkat dalam perspektif Hukum Perdata
Di sini perbedaan antara hukum Islam dan hukum perdata. Solusi yang ditawarkan hukum perdata adalah memberikan hibah. Menurut ketentuan Pasal 957 KUHPerdata, disebutkan bahwa:
Hibah wasiat adalah suatu penetapan wasiat yang khusus dengan mana si yang mewariskan kepada seorang atau lebih memberikan beberapa barang-barangnya dari suatu jenis tertentu seperti misalnya segala barang-barangnya bergerak atau tak bergerak atau memberikan hak pakai hasil atas seluruh atau sebagian harta peninggalannya.
Namun, dalam memberikan hibah perlu diperhatikan hak ahli waris sahnya. Jangan sampai Untuk itu KUHPerdata menentukan pada Pasal 972 bahwa:
Apabila warisan tidak seluruhnya atau untuk sebagian diterimanya, atau apabila warisan diterimanya dengan hak istimewa akan pendaftaran harta peninggalan, dan yang ini tidak mencukupi guna memenuhi akan segala wasiat, maka hibah-hibah itu dalam keseimbangan dengan besarnya, harus dikurangi, kecuali yang mewariskan tentang hal ini, telah menetapkan ketentuan-ketentuan lain dalam surat wasiatnya.
Selain itu, dalam memberikan hibah juga harus dibuktikan dengan akta hibah di hadapan pejabat yang berwenang dimana sebelumnya dimintakan terlebih dahulu persetujuan dari ahli waris yang sah. Surat persetujuan tersebut juga harus dilegalisir oleh Notaris.
Author: Dhea Prayitno