7 Risiko Pengusaha Yang Mempekerjakan Karyawan Tanpa Perjanjian Kerja Tertulis

Smartlegal.id -
Risiko Mempekerjakan Karyawan Tanpa Perjanjian Kerja Tertulis
Risiko Mempekerjakan Karyawan Tanpa Perjanjian Kerja Tertulis

“Perjanjian kerja secara lisan sah-sah saja. Akan tetapi, perjanjian kerja dengan bentuk tertulis lebih memperkecil risiko bisnis”

Suatu hubungan kerja antara perusahaan dan karyawan baru akan timbul setelah dilakukan perjanjian kerja. Perjanjian kerja dapat dilakukan secara tertulis maupun secara lisan. Akan tetapi, pengusaha lebih baik membuat perjanjian kerja secara tertulis. Karena jika hanya secara lisan, akan ada berbagai risiko yang berpotensi dihadapi oleh pengusaha. Mari perhatikan risikonya agar dapat dihindari.

  • Status pekerjaan jadi tidak jelas

Bisa saja pengusaha mempekerjakan karyawan secara lisan. Akan tetapi, hubungan kerja menjadi tidak jelas. Tidak ada dokumen yang menegaskan bahwa karyawan tersebut memang benar bekerja pada perusahaan terkait.

  • Karyawan tidak paham deskripsi pekerjaan

Apabila tidak ada perjanjian kerja tertulis, maka berpotensi membuat karyawan bingung dengan tugas-tugasnya. Sehingga bisa saja kinerja karyawan jadi tidak baik. Jika ada perjanjian tertulis, maka di dalam perjanjian kerja akan dijelaskan tugas apa saja yang harus dilakukan oleh karyawan pada jabatan tersebut. Biasanya job description lebih lengkap dicantumkan pada lampiran perjanjian kerja.

Baca juga: Bolehkah Perjanjian Kerja Dibuat Dalam Bahasa Asing

  • Kebingungan penyelesaian perselisihan

Ketika pengusaha mempekerjakan karyawan, ada kemungkinan terjadinya sengketa atau beda pendapat. Terlepas kemungkinan itu terjadi atau tidak, tentu lebih baik diantisipasi dengan klausula resolusi perselisihan. Hal tersebut agar cara dan tempat penyelesaian sengketa antara pengusaha dengan karyawan menjadi jelas. Penyelesaian yang telah melalui musyawarah dan tidak mencapai kesepakatan, maka dapat ditentukan penyelesaian selanjutnya apakah melalui mekanisme Arbitrase atau Pengadilan Hubungan Industrial.

  • Masa kerja tidak diatur

Karyawan dapat dipekerjakan dengan perjanjian yang dibuat dengan waktu tertentu (PKWT) atau waktu tidak tertentu (PKWTT). Apabila melalui PKWT, maka harus ditentukan jangka waktu atau selesainya waktu pekerjaan sebagaimana diatur Pasal 56 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUK). Apabila PKWTT, maka pengusaha dapat mempekerjakan karyawan dalam masa percobaan atau probation maksimal 3 bulan (Pasal 60 UUK). Kemudian karyawan dapat bekerja selama waktu yang tidak ditentukan dalam kata lain disebut karyawan tetap.

  • Status PKWT dapat berubah menjadi PKWTT

Mempekerjakan karyawan dengan status PKWT harus dibuatkan perjanjian tertulis. Apabila karyawan dipekerjakan dengan status PKWT, tetapi tidak diperjanjikan dengan perjanjian kerja tertulis, maka dapat berubah statusnya menjadi PKWTT (Pasal 57 Ayat (1) dan (2) UUK). Sehingga karyawan yang awalnya hanya bekerja untuk jangka waktu tertentu dapat menjadi karyawan tetap yang jangka waktu kerjanya tidak tertentu.

Baca juga: Pengusaha Wajib Ketahui Soal Wanprestasi

  • Digugat Royalti Hak Kekayaan Intelektual oleh Karyawan

Karyawan yang bekerja untuk menghasilkan ciptaan atau karya cipta, peralihan haknya harus diatur dalam perjanjian dengan jelas. Hak cipta dapat dialihkan dengan perjanjian tertulis seperti yang dijelaskan dalam Pasal 16 Ayat (2) Huruf e Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta (UUHC). Pengusaha harus memastikan ada klausul yang intinya menyatakan setiap ciptaan atau karya cipta yang dihasilkan karyawan tersebut menjadi milik perusahaan. Karyawan sebagai pencipta, tetapi perusahaan sebagai pemegang hak cipta nya.

Apabila tidak diatur demikian dalam perjanjian kerja tertulis, maka perusahaan dapat digugat karyawan. Bisa saja ketika karyawan tidak bekerja lagi pada perusahaan, karyawan akan meminta hak royalti atas ciptaan atau karya cipta yang dibuat olehnya selama bekerja. Karena pada dasarnya hak ekonomi suatu ciptaan merupakan milik karyawan sebagai pencipta jika tidak dialihkan kepada perusahaan (Pasal 17 Ayat (1) UUHC). Apalagi pengusaha juga bisa kena pidana (Pasal 113 UUHC).

  • Pembuktian kurang sempurna

Perjanjian lisan hukumnya sah. Akan tetapi sulit jika diperlukan dalam pembuktian pada saat penyelesaian sengketa. Jika ada perjanjian kerja secara tertulis, maka perjanjian bisa dilihat sekaligus menjadi acuan apabila ada perbedaan pendapat. Pengusaha dan karyawan bisa saling memantau poin-poin perjanjian telah dipenuhi atau tidak. Jika dibuat secara tertulis, hakim juga mudah menilai sah atau tidaknya perjanjian berdasarkan syarat sah perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPer.

Baca juga: Kenali Syarat Sah Perjanjian Sebelum Anda Membuat PT

Perjanjian kerja secara lisan sah-sah saja. Akan tetapi, perjanjian kerja dengan bentuk tertulis lebih memperkecil resiko bisnis. Ingin konsultasi lebih lanjut mengenai hukum bisnis? Segera hubungi Smartlegal.id melalui tombol dibawah ini.

Author: Bagus Zuntoro Putro

Seberapa membantu artikel ini menurut Anda?

TERBARU

PALING POPULER

KATEGORI ARTIKEL

PENDIRIAN BADAN USAHA

PENDAFTARAN MERK

LEGAL STORY