Wajib Tahu! Ini 5 jenis Pajak Penghasilan Yang Harus Dipenuhi Oleh Perusahaan

Smartlegal.id -
Pajak Penghasilan Perusahaan
Pajak Penghasilan Perusahaan

Pajak penghasilan yang dikenakan kepada perusahaan setiap bulannya yang meliputi PPh 21, PPh 23, PPh 26, PPh Pasal 4 ayat (2), dan PPh berdasarkan PP 23/2018

Sebagai badan hukum, perusahaan juga memiliki kewajiban yang harus dipenuhi layaknya orang perorangan termasuk kewajiban untuk membayar pajak. Jenis pajak yang harus dilunasi oleh setiap perusahaan tidak hanya yang bersifat tahunan saja, namun juga pajak-pajak yang bersifat bulanan.

Artinya, setiap perusahaan juga memiliki kewajiban untuk menghitung, menyetor dan melaporkan pajak perusahaan yang dikenakan setiap bulannya. Sementara itu, untuk melakukan pembayaran pajak tersebut, setiap perusahaan harus menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri setiap pajak yang terutang padanya karena Indonesia menganut “Self-Assesment System”. 

Baca juga: Legal Story: Hitung Pajak Negara Tapi Lupa Pajak Daerah

Adapun diantara jenis-jenis pajak yang dimaksud, salah satunya adalah pajak penghasilan. Mengacu pada ketentuan dalam pasal-pasal di Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) dan beberapa peraturan lain dibagi lagi ke dalam beberapa jenis yang meliputi:

  1. Pajak penghasilan Pasal 21 (PPh 21), yakni merupakan pajak yang dipungut atas penghasilan perusahaan dengan tarif sebesar 28%. Namun, terhitung sejak tahun 2010 tarif tersebut diturunkan menjadi hanya sebesar 25% (Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh)).
  2. Pajak Penghasilan Pasal 23 (PPh 23), yakni merupakan kewajiban pajak yang dikenakan atas penghasilan yang diterima oleh perusahaan atas beberapa jenis transaksi yang meliputi:
    1. Pembayaran dividen atau pembagian keuntungan yang diberikan kepada para pemegang saham dengan jumlah kepemilikan saham paling rendah 30% dengan tarif 15% atau 30% tanpa NPWP;
    2. Pembayaran royalti dengan tarif 15% atau 30% tanpa NPWP;
    3. Pembayaran bunga pinjaman selain kepada bank dengan tarif 15% atau 30% tanpa NPWP; dan
    4. Pembayaran hadiah, penghargaan dan bonus selain yang dipotong oleh PPh Pasal 21 dengan tarif 15% atau 30% tanpa NPWP; serta
    5. Pembayaran sewa atas penggunaan harta dengan tarif 2% atau 4% tanpa NPWP; serta
    6. Pembayaran imbalan atas jasa yang meliputi jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan dan jasa lainnya sebagaimana yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 141/PMK.03/2015 dengan tarif 2% atau 4% tanpa NPWP

Adapun penghasilan yang dipotong oleh PPh Pasal 23 ini, akan menjadi bagian dalam penghitungan SPT (Surat Pemberitahuan Tahunan) PPh Badan. Sementara itu, bukti pemotongan PPh Pasal 23 tersebut akan menjadi pengurang atau kredit pajak dari PPh Badan yang harus dibayarkan.

  1. Pajak Penghasilan Pasal 26 (PPh 26) sebagaimana yang diubah dalam Pasal 111 UU Cipta Kerja, adalah pajak penghasilan yang dikenakan atas transaksi dengan wajib pajak luar negeri. Artinya, bagi setiap perusahaan di Indonesia yang melakukan transaksi pembayaran kepada wajib pajak luar negeri, harus membayar pajak penghasilan sebesar 20% dari penghasilan bruto yang diterima oleh wajib pajak luar negeri.

    Meski demikian, tarif yang dikenakan atas PPh Pasal 26 tersebut masih dapat dikurangi melalui Peraturan Pemerintah. Sementara itu, transaksi pembayaran yang dikenakan PPh 26 ini mencakup transaksi pembayaran 
    1. Dividen
    2. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang; 
    3. Royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta
    4. Imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan; 
    5. Hadiah dan penghargaan
    6. Pensiun dan pembayaran berkala lainnya; 
    7. Premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya; dan/atau 
    8. Keuntungan karena pembebasan utang. 

Secara garis besar, objek dari jenis pajak ini pada dasarnya sama dengan objek pajak dari PPh 21 dan PPh 23, namun perbedaannya hanya terletak pada penerima penghasilannya saja, yakni wajib pajak luar negeri.

  1. Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) (PPh 4 (2)) sebagaimana yang diubah dalam Pasal 111 UU Cipta Kerja, adalah pajak penghasilan dengan tarif yang bersifat final atas penghasilan yang diperoleh dari:
    1. Bunga deposito dan tabungan lainnya; 
    2. Bunga obligasi dan surat utang negara
    3. Bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi; 
    4. Hadiah undian
    5. Transaksi saham dan sekuritas lainnya; 
    6. Transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa; 
    7. Transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura; 
    8. Transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dart persewaan tanah dan/atau bangunan; dan 
    9. Penghasilan tertentu lainnya,
  1. PPh Final berdasarkan PP 23/2018, yakni merupakan pajak yang dipungut berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu (PP 23/2018). Mengacu pada peraturan tersebut, Pemerintah telah menetapkan fasilitas keringanan pajak penghasilan untuk perusahaan yang memiliki peredaran usaha dibawah Rp 4,8 miliar (Pasal 3 ayat (1) PP 23/2018).

Baca juga: HATI-HATI! UMKM Tidak Taat Pajak, Maka Sanksi Pidana Menanti 

Adapun keringanan yang diberikan, berupa tarif PPh yang hanya sebesar 0,5% dari peredaran bruto setiap bulannya (Pasal 10 PP 23/2018). Untuk perusahaan berbentuk Perseroan Terbatas (PT), dapat diberikan fasilitas keringanan selama 3 tahun (Pasal 5 ayat (1) huruf c PP 23/2018).

Punya permasalahan terkait legalitas usaha Anda? Konsultasikan saja kepada kami. Hubungi Smartlegal.id melalui tombol di bawah ini sekarang juga. 

Author: Muhammad Fa’iz Nur Abshar

Seberapa membantu artikel ini menurut Anda?

TERBARU

PALING POPULER

KATEGORI ARTIKEL

PENDIRIAN BADAN USAHA

PENDAFTARAN MERK

LEGAL STORY