Pajak Marketplace Bakal Diwajibkan ke Pedagang Bagaimana Ketentuannya?

Smartlegal.id -
Pajak Marketplace
Freepik/author/pvproductions

“Pemerintah akan mewajibkan pajak marketplace berupa PPh dari pedagang yang bertujuan untuk menata ekonomi digital, bagaimana ketentuannya?”

Pemerintah berencana memberlakukan kebijakan baru yang mengharuskan platform marketplace atau lokapasar untuk memungut Pajak Penghasilan (PPh) dari para pedagang yang beraktivitas di dalamnya. 

Kebijakan ini bukan merupakan jenis pajak baru, melainkan perubahan cara pembayaran pajak dari sebelumnya dilakukan secara mandiri oleh pedagang, menjadi dipotong langsung oleh pihak platform tempat mereka berjualan.

Kebijakan ini dipandang sebagai langkah penataan terhadap aktivitas ekonomi digital yang terus berkembang pesat, sekaligus sebagai upaya untuk menutup celah dalam praktik ekonomi informal (shadow economy). 

Selain itu, regulasi ini juga dimaksudkan untuk menciptakan kesetaraan perlakuan antara pelaku usaha daring dan luring dalam memenuhi kewajiban perpajakan.

Baca Juga: Catat! Ini Kode KLU Pedagang Kecil atau Eceran Untuk Wajib Pajak yang Benar 

Bagaimana Ketentuan Pajak Marketplace Ini?

Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sedang merancang kebijakan baru yang mengamanatkan platform e‑commerce untuk memotong dan menyetorkan PPh final 0,5 % atas peredaran bruto pedagang, khususnya pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dengan omzet tahunan antara Rp 500 juta hingga Rp 4,8 miliar.

PPh Pasal 22 sendiri diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 41/PMK.010/2022 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 34/PMK.010/2017 tentang Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Sehubungan Dengan Pembayaran atas Penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang Impor atau Kegiatan Usaha di Bidang Lain (Permenkeu 41/2022).

Adapun mekanismenya adalah sebagai berikut:

  1. Marketplace akan ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22 atas transaksi jual‑beli PMSE (Perdagangan Melalui Sistem Elektronik).
  2. Peredaran bruto di atas Rp 500 juta/tahun sampai Rp 4,8 miliar akan dikenai pemotongan otomatis sebesar 0,5 %.
  3. Pedagang dengan omzet di bawah Rp 500 juta/tahun tetap bebas pajak, sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan (PP 55/2022).
  4. Bukan pajak baru, melainkan pergeseran mekanisme pemungutan (shifting) dari pelaku usaha ke marketplace.

Ada 2 (dua) jenis PPH, apa saja itu? Simak ulasannya dalam artikel Contoh PPh Final dan Tidak Final Beserta Perbedaannya dalam Perhitungan Pelaporan SPT Tahunan

Tantangan Implementasi Kebijakan

Mengutip dari Sekretaris Jenderal Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA), Budi Primawan, meskipun semangat kebijakan ini adalah penegakan kewajiban pajak, implementasinya tidak mudah. Beberapa tantangan utamanya mencakup:

  1. Integrasi dan Validasi Data Pedagang: Faktanya, banyak pedagang memiliki lebih dari satu toko di berbagai platform. Sinkronisasi data antara platform menjadi hal krusial agar tidak terjadi pengenaan pajak ganda atau kelalaian data.
  2. Perlindungan Data Pribadi Pedagang: Pengumpulan dan pertukaran data antar platform dapat menimbulkan kekhawatiran terkait privasi dan keamanan data pedagang.
  3. Kesiapan Teknologi Sistem Marketplace: Setiap platform harus menyiapkan sistem yang bisa memotong dan menyetorkan pajak sesuai ketentuan, yang tentu membutuhkan biaya dan waktu.

Baca Juga: Cara Mendapatkan Nomor TIN NPWP Wajib Pajak Beserta Dokumen yang Harus Dipersiapkan

Tanggung Jawab Marketplace secara Hukum

DJP berencana menunjuk penyelenggara platform marketplace sebagai pihak yang bertanggung jawab memungut PPh dari para pedagang yang melakukan transaksi penjualan di dalam platform mereka.

Kebijakan ini bukan merupakan bentuk pungutan atau jenis pajak baru, melainkan perubahan sistem pemungutan. 

Sebelumnya, pedagang daring diwajibkan untuk menyetor PPh secara mandiri  kini, tugas tersebut dialihkan ke marketplace yang ditunjuk secara resmi oleh DJP sebagai pemungut pajak pihak ketiga.

Secara prinsip, pengenaan PPh mengacu pada konsep penghasilan sebagai objek pajak, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomi yang diterima atau diperoleh oleh wajib pajak, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, termasuk hasil penjualan barang atau jasa secara digital (online). 

Sebagai pihak yang ditunjuk negara untuk melakukan pemungutan PPh pedagang, platform marketplace memiliki tanggung jawab hukum administratif yang signifikan. 

Penunjukan ini mewajibkan mereka untuk menjalankan serangkaian kewajiban perpajakan yang tidak bisa diabaikan. Marketplace wajib:

  1. Menyusun sistem pencatatan, pemungutan, dan pelaporan pajak secara akurat dan tepat waktu
  2. Memastikan bahwa pemotongan dan penyetoran pajak dilakukan sesuai ketentuan yang berlaku.

Kewajiban tersebut merujuk pada Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU Harmonisasi Perpajakan)

Pasal tersebut menyatakan bahwa setiap pemungut pajak yang tidak menyetorkan pajak atau terlambat melakukannya, dapat dikenakan sanksi administratif maupun pidana.

Selain itu, marketplace juga diwajibkan melakukan sinkronisasi dan integrasi data lintas platform. Namun, kewajiban ini harus dilakukan dengan memperhatikan aspek hukum lainnya, terutama yang berkaitan dengan data pribadi.

Kewajiban integrasi data antar platform yang melibatkan informasi pedagang membuka potensi pelanggaran hak atas privasi. 

Marketplace harus berhati-hati dalam memproses data pribadi pedagang agar tidak melanggar ketentuan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP)

Secara khusus, Pasal 20 UU PDP mewajibkan pengendali data memperoleh persetujuan eksplisit dari subjek data sebelum menggunakan atau membagikan data pribadinya. 

Selain itu, Pasal 57 UU PDP mengatur sanksi pidana apabila terjadi kebocoran atau penyalahgunaan data pribadi. 

Oleh karena itu, marketplace harus memastikan bahwa semua pengolahan data dilakukan berdasarkan asas pelindungan, kepastian hukum, kepentingan umum, kemanfaatan, kehati-hatian, keseimbangan, pertanggungjawaban, dan kerahasiaan (Pasal 3 UU PDP).

Bagaimana cara menghitung PPh? Cari tau jawabannya dalam artikel Ingin Tahu Bagaimana Cara Menghitung PPh untuk Perusahaan? Ini Mekanismenya!

Proyeksi Regulasi: Mewujudkan Kesetaraan Pajak di Era Ekonomi Digital

Upaya pemerintah untuk menata ekonomi digital melalui pemungutan PPh oleh marketplace bukanlah gagasan baru. 

Pada akhir tahun 2018, pemerintah sempat mewajibkan platform lokapasar untuk membagikan data pedagang guna kepentingan perpajakan. Namun, karena tingginya resistensi dari pelaku usaha digital, kebijakan tersebut akhirnya urung diberlakukan.

Kini, melalui PP 55/2022, pemerintah kembali mendorong kebijakan serupa. Pedagang dengan omzet tahunan di atas Rp 500 juta hingga Rp 4,8 miliar akan dikenai PPh final sebesar 0,5%. Ketentuan ini menargetkan pelaku usaha dengan kapasitas menengah, dan bukan segmen mikro dengan pendapatan minim (Pasal 56 ayat (2) PP 55/2022).

Penunjukan marketplace sebagai pemungut pajak pihak ketiga dinilai sebagai langkah yang efisien karena mempermudah proses pengawasan dan pemungutan oleh DJP. Namun, efektivitas kebijakan tetap sangat bergantung pada beberapa faktor kunci:

Penunjukan marketplace sebagai pemungut pajak dinilai efisien dan lebih mudah diawasi oleh otoritas. Namun, efektivitas kebijakan tetap tergantung pada:

  1. Sosialisasi yang menyeluruh dan terarah kepada pelaku usaha, khususnya UMKM digital.
  2. Penguatan sistem digital perpajakan, baik dari sisi DJP maupun infrastruktur teknologi platform.
  3. Jaminan perlindungan terhadap pelaku UMKM dengan omzet kecil, agar tidak terkena beban pajak yang tidak proporsional.

Tujuan utama dari regulasi ini adalah menciptakan kesetaraan perlakuan fiskal antara pelaku usaha daring (online) dan usaha luring (offline), yang selama ini berada dalam posisi tidak seimbang dalam hal kepatuhan pajak. 

Prinsip keadilan tersebut sesuai dengan amanat Pasal 23 huruf A Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan bahwa “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.

Namun demikian, perlu diakui bahwa kebijakan ini memiliki potensi untuk membebani UMKM digital, terutama mereka yang masih memiliki keterbatasan dalam literasi perpajakan maupun akses ke infrastruktur digital. 

Tanpa dukungan kebijakan afirmatif, edukasi, dan insentif yang memadai, kebijakan ini dapat menciptakan kesenjangan baru dalam praktik perpajakan digital.

Bingung hadapi aturan baru soal pajak di marketplace? Kini saatnya pastikan usahamu legal dan taat pajak! Smartlegal.id  siap membantu proses pendirian usaha, perizinan, hingga konsultasi hukum bisnis agar toko onlinemu tetap aman dan sesuai regulasi.

Author: Kunthi Mawar Pratiwi

Editor: Genies Wisnu Pradana

Referensi:
https://www.kompas.id/artikel/marketplace-bakal-wajib-pungut-pajak-pedagang-integrasi-data-dan-sistem-platform-jadi-tantangan
https://www.pajak.com/pajak/marketplace-bakal-pungut-pph-22-umkm-digital-kanwil-djp-papabrama-ungkap-tujuannya/
https://pajak.go.id/id/siaran-pers/rencana-penunjukan-marketplace-sebagai-pemungut-pph-pasal-22-bukan-pajak-baru?utm_source=chatgpt.com
https://news.ddtc.co.id/berita/nasional/1811817/marketplace-pungut-pajak-integrasi-data-pedagang-jadi-tantangan?utm_source=chatgpt.com

Seberapa membantu artikel ini menurut Anda?

TERBARU

PALING POPULER

KATEGORI ARTIKEL

PENDIRIAN BADAN USAHA

PENDAFTARAN MERK

LEGAL STORY