5 Metode Perhitungan Bagi Hasil dan Contohnya antara Pengusaha dan Investor

Smartlegal.id -
Metode Perhitungan Bagi Hasil dan Contohnya
Freepik/author/Freepik

“Ketahui 5 metode perhitungan bagi hasil dan contohnya antara pengusaha dan investor serta pentingnya perjanjian tertulis agar kerja sama bisnis aman secara hukum.”

Kerja sama bisnis antara pengusaha dan investor bukan hanya soal suntikan modal dan keuntungan semata tetapi juga hubungan kepercayaan, transparansi, serta struktur pembagian hasil yang jelas sejak awal. 

Dalam kerja sama bisnis, kesepakatan mengenai modal dan perhitungan keuntungan sering kali menjadi topik paling sensitif. Agar tidak menimbulkan kesalahpahaman atau sengketa di kemudian hari, struktur perjanjian bagi hasil perlu dituangkan secara jelas sejak awal proses kerja sama.

Perjanjian bagi hasil bukan hanya menentukan siapa mendapatkan berapa persen keuntungan, tetapi juga mengatur mekanisme perhitungan, kapan pembagian dilakukan, dan hak serta tanggung jawab masing-masing pihak. Sebelum perjanjian dibuat, penting bagi pengusaha dan investor memahami beberapa metode pembagian keuntungan yang lazim digunakan dalam praktik bisnis.

Baca Juga: 2027 Perusahaan Wajib Kirim Laporan Keuangan ke Kemenkeu, Bagaimana Teknisnya?

5 Metode Perhitungan Bagi Hasil dan Contohnya

1. Fixed Profit Share (Bagi Hasil Tetap Berdasarkan Nilai Tetap)

Dalam metode ini, investor menerima nilai pembagian keuntungan yang sudah ditentukan sejak awal bukan berdasarkan persentase. Ini cocok jika investor ingin kepastian nominal. 

Contoh penerapannya adalah investor menanam modal Rp100 juta untuk bisnis laundry. Dalam perjanjian menyebutkan bahwa investor menerima Rp 8 juta per bulan selama periode 18 bulan.

Jenis ini biasanya digunakan pada bisnis dengan arus kas stabil. Namun, dalam perjanjian harus ditegaskan bahwa nominal tetap diberikan meski bisnis mengalami penurunan omzet, kecuali kesepakatan lain diatur sebagai klausul.

2. Bagi Hasil Berdasarkan Profit Bersih (Net Profit Sharing)

Pada metode ini, pembagian keuntungan hanya dihitung setelah semua biaya operasional dikurangi. Metode ini umum digunakan di bisnis kuliner, ritel, hingga waralaba. Contoh:

  • Pendapatan bulanan: Rp100 juta
  • Biaya operasional: Rp60 juta
  • Laba bersih: Rp 40 juta

Jika pembagian keuntungan disepakati 60% untuk pengusaha dan 40% untuk investor, maka:

  • Investor: Rp 40 juta × 40% = Rp 16 juta
  • Pengusaha: Rp 40 juta × 60% = Rp 24 juta

Model ini cocok untuk bisnis dengan biaya operasional tinggi.

Baca Juga: Cara Menentukan Bagi Hasil Bisnis Franchise, Franchisor wajib tahu ini!

3. Bagi Hasil Berdasarkan Revenue (Gross Sharing)

Pembagian dilakukan berdasarkan pendapatan kotor, tanpa menghitung biaya. Metode ini sering digunakan ketika investor ingin kepastian pengembalian sejak awal. Contohnya, pendapatan bulanan senilai Rp 80 juta. Kesepakatan bagi hasil adalah 20% revenue untuk investor, 80% untuk pengusaha. Maka:

  • Investor: Rp 16 juta
  • Pengusaha: Rp 64 juta

Metode ini membuat pengusaha menanggung seluruh beban biaya, sehingga harus dihitung dengan cermat agar tetap sehat secara finansial.

4. Metode ROI + Profit Sharing

Metode ini menyatukan pengembalian modal (Return on Investment) dengan pembagian keuntungan rutin. Contohnya dengan modal Rp 200 juta, ROI disepakati kembali dalam 20 bulan dengan Rp 10 juta/bulan

  • Persentase bagi hasil: 30% investor, 70% pengusaha
  • Laba bulan ini: Rp 60 juta

Investor menerima:

  • ROI: Rp 10 juta
  • Profit sharing: Rp 18 juta
  • Total: Rp 28 juta

Cocok untuk investor yang ingin keamanan modal sekaligus potensi profit.

5. Skema Berbasis Kinerja (Performance-Based Sharing)

Metode ini mengaitkan persentase bagi hasil dengan capaian target, misalnya omzet, pertumbuhan penjualan, atau KPI operasional. Contohnya:

  • Omzet < Rp 100 juta → Investor 20%
  • Omzet ≥ Rp 100 juta → Investor 30%

Jika omzet bulan ini Rp 120 juta dan laba bersih Rp 50 juta, maka investor menerima Rp15 juta. Skema ini memberi insentif bagi pengusaha untuk bekerja lebih optimal.

Baca Juga: Lebih Untung Buka Cabang Baru atau Franchise Profit? Ini Hal yang Bisa Dipertimbangkan

Mengapa Perjanjian Bagi Hasil Harus Ditulis Secara Hukum?

Dalam praktik bisnis, banyak kerja sama antara pengusaha dan investor dimulai hanya dengan kesepakatan lisan atau kepercayaan interpersonal. Namun ketika bisnis berkembang, performa menurun, atau pembagian keuntungan tidak sesuai ekspektasi, sering muncul perbedaan persepsi. 

Di titik inilah perjanjian tertulis menjadi instrumen penting yang memberikan kepastian hukum, perlindungan, dan batasan yang jelas bagi kedua pihak.

Perjanjian tertulis memastikan seluruh mekanisme kerja sama dapat diuji, dievaluasi, dan dipertanggungjawabkan. Dengan adanya dokumen hukum, setiap pihak memahami hak, kewajiban, dan konsekuensi dari kerja sama tersebut.

Perjanjian yang jelas melindungi hak dan kewajiban kedua belah pihak, terutama terkait:

  1. Cara perhitungan profit:  Rumus pembagian keuntungan harus ditulis dengan jelas untuk menghindari multitafsir. Misalnya, apakah pembagian dihitung dari omzet (revenue sharing) atau laba bersih (net profit sharing) setelah dikurangi biaya operasional.
  2. Jadwal pembagian keuntungan: Penentuan jadwal membantu menjaga arus kas bisnis dan menghindari tuntutan investor yang meminta pembagian di luar mekanisme yang disepakati.
  3. Metode pelaporan keuangan: Untuk menjamin transparansi, perjanjian harus menentukan cara pelaporan. Hal ini penting untuk mengurangi kecurigaan dan menjaga hubungan profesional.
  4. Risiko kerugian dan penanggungnya: Perjanjian juga harus menjelaskan bagaimana jika bisnis mengalami kerugian atau gagal mencapai target.
  5. Mekanisme perubahan rumus bagi hasil: Bisnis bersifat dinamis, sehingga perjanjian harus mengantisipasi kemungkinan perubahan kondisi. Ini penting agar tidak ada pihak yang mengubah struktur pembagian tanpa persetujuan.
  6. Penanganan wanprestasi atau force majeure: Perjanjian wajib mengatur skenario ketika salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya (wanprestasi) atau terjadi keadaan luar biasa yang menggagalkan operasional (force majeure), misalnya pandemi, perang, dan lainnya. Hal ini untuk menghindari konflik berkepanjangan.

Baca Juga: Contoh Surat Perjanjian Kerjasama Bisnis yang Sah Secara Hukum Dan Cara Membuatnya

Perjanjian bagi hasil tunduk pada beberapa prinsip hukum yang diatur dalam KUH Perdata, antara lain Pasal 1320 KUH Perdata mengenai syarat sah perjanjian, dimana perjanjian harus memenuhi unsur:

  1. Kesepakatan para pihak
  2. Kecakapan hukum
  3. Objek tertentu
  4. Sebab yang halal

Pasal 1338 KUH Perdata mengenai asas kebebasan berkontrak, dimana perjanjian yang dibuat secara sah berlaku mengikat seperti undang-undang bagi para pihak yang menandatanganinya.

Dengan dasar ini, perjanjian bukan hanya dokumen administratif, tetapi alat pembuktian hukum apabila terjadi perselisihan.

Jika Anda ingin memastikan pembagian keuntungan berjalan transparan, adil, dan terlindungi hukum, maka langkah paling tepat adalah menyusun Perjanjian Bagi Hasil yang sah dan terstruktur. 

Butuh bantuan menyusun atau mengevaluasi perjanjian Anda?

Konsultasikan bersama Smartlegal.id agar perhitungan dan hak Anda terlindungi sejak awal.

Author : Kunthi Mawar Pratiwi

Editor : Genies Wisnu Pradana

Referensi:
https://www.jurnal.id/id/blog/permodalan-dan-cara-pembagian-keuntungan-pada-sistem-bagi-hasil/ 

Seberapa membantu artikel ini menurut Anda?

TERBARU

PALING POPULER

KATEGORI ARTIKEL

Pendirian PT
Pendirian PT PMA
Pendirian CV
Pendirian Yayasan
Pendirian Koperasi
Pendaftaran Merek
Pendaftaran Paten
Pendaftaran Hak Cipta
Perubahan Anggaran Dasar
Trending Topic
Hukum Keluarga
Ketenagakerjaan

PENDIRIAN BADAN USAHA

PENDAFTARAN MERK

LEGAL STORY