Hati-Hati! Karena Hal Ini Pengadilan Menolak Pengesahan Perdamaian PKPU
Smartlegal.id -
“Meskipun sudah disetujui dalam rapat kreditur, rencana perdamaian pkpu belum tentu disahkan oleh pengadilan”
Dalam menjalankan suatu usaha, pelaku usaha tentu berharap untuk memperoleh profit sebanyak-banyaknya. Nantinya, profit tersebut tidak hanya digunakan untuk membiayai operasional perusahaan kedepannya, namun juga untuk membayar hutang yang dimiliki perusahaan. Menurunnya profit tentu akan mengganggu kemampuan perusahaan untuk membayar hutang, hingga berujung pada masalah utang piutang.
Apabila perusahaan selaku debitur berutang dengan 2 pihak atau lebih pemberi utang (kreditur), yang dengan salah satunya tidak mampu dibayar ketika jatuh tempo atau diperkirakan tidak dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih, maka kondisi tersebut dapat diselesaikan dengan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).
Sebagaimana disimpulkan dalam Pasal 222 ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan), PKPU adalah suatu upaya yang dilakukan baik oleh debitur atau kreditur untuk memperoleh penundaan kewajiban pembayaran utang. Tujuannya untuk mencapai perdamaian dan terbayarnya sebagian atau seluruh utang debitur kepada kreditur.
Baca: Pahami Perbedaan Pailit dengan PKPU
Debitur yang mengajukan PKPU, berhak untuk menawarkan suatu perdamaian kepada semua kreditur (Pasal 265 UU Kepailitan). Dalam hal ini, diajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada kreditur (Pasal 222 ayat (2) UU Kepailitan).
Rencana perdamaian dapat diajukan pada saat:
- Pengajuan permohonan PKPU (Pasal 224 ayat (4) UU Kepailitan);
- Setelah pengajuan permohonan PKPU hingga sebelum hari sidang (Pasal 265 jp. Pasal 266 ayat (1) UU Kepailitan); dan
- Setelah sidang namun tidak boleh lebih dari 270 hari setelah PKPU sementara (Pasal 266 jo. Pasal 228 ayat (4) UU Kepailitan).
Rencana perdamaian dapat diterima berdasarkan (Pasal 281 ayat (1) UU Kepailitan):
- Persetujuan lebih dari 1/2 jumlah kreditur konkuren yang haknya diakui atau sementara diakui yang hadir pada rapat kreditur, termasuk kreditur, yang sama-sama mewakili paling sedikit 2/3 bagian dari seluruh tagihan yang diakui atau sementara diakui dari kreditur konkuren atau kuasanya yang hadir dalam rapat tersebut; dan
- Persetujuan lebih dari 1/2 jumlah kreditur yang piutangnya dijamin dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya yang hadir dan mewakili paling sedikit 2/3 bagian dari seluruh tagihan dari kreditur atau kuasanya yang hadir dalam rapat tersebut.
Baca juga: Kenali 3 Jenis Kreditur Dalam Kepailitan
Meskipun sudah disetujui dalam rapat kreditur, pengadilan wajib memberikan putusan mengenai pengesahan perdamaian yang disertai dengan alasannya (Pasal 285 ayat (1) UU Kepailitan). Namun, belum tentu rencana perdamaian yang sudah disetujui oleh kreditur otomatis disahkan oleh pengadilan.
Pengadilan wajib menolak untuk mengesahkan perdamaian dalam perkara kepailitan dan PKPU, apabila (Pasal 285 ayat (2) UU Kepailitan):
- Harta debitur, termasuk benda untuk mana dilaksanakan hak untuk menahan suatu benda jauh lebih besar daripada jumlah yang disetujui dalam perdamaian;
- Pelaksanaan perdamaian tidak cukup terjamin;
- Perdamaian itu dicapai karena penipuan atau persekongkolan dengan satu atau lebih kreditur, atau karena pemakaian upaya lain yang tidak jujur dan tanpa menghiraukan apakah debitur atau pihak lain bekerjasama untuk mencapai hal ini
- Imbalan jasa dan biaya yang dikeluarkan oleh ahli dan pengurus belum dibayar atau tidak diberikan jaminan untuk pembayarannya.
Apabila pengadilan menolak mengesahkan perdamaian, maka dalam putusan yang sama, pengadilan wajib menyatakan debitur pailit. Putusan tersebut harus diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia dan paling sedikit 2 surat kabar harian, dengan jangka waktu paling lambat 5 hari setelah putusan diterima oleh Hakim Pengawas dan Kurator (Pasal 285 ayat (3) UU Kepailitan.
Bingung dan kesulitan dalam mengurus legalitas bisnis Anda? Memiliki pertanyaan seputar hukum perusahaan atau masalah hukum lainnya? Segera hubungi Smartlegal.id melalui tombol di bawah ini.
Author: Ni Nyoman Indah Ratnasari