Ini Dia! Macam-Macam Penyelesaian Sengketa Hak Cipta

Smartlegal.id -
Penyelesaian Sengketa Hak Cipta
Penyelesaian Sengketa Hak Cipta

“Penyelesaian sengketa Hak Cipta dapat dilakukan melalui alternatif penyelesaian sengketa, arbitrase, atau pengadilan.”

Pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di Indonesia terbilang cukup tinggi. Pemerintah mencatat telah melakukan penanganan 1.184 perkara pelanggaran HKI dalam 5 tahun terakhir ini. Sebanyak 658 perkara terkait dengan merek, 243 kasus hak cipta, 27 kasus desain industri, delapan kasus rahasia dagang, dua kasus tata letak sirkuit terpadu, dan dua kasus perlindungan varietas tanaman. Dari berbagai macam bidang HKI tersebut, sengketa terkait hak cipta merupakan dua teratas dari semua kasus yang ada. 

Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UUHC))

Apabila dalam bidang hak cipta ini timbul suatu sengketa antara para pihak yang berselisih, maka penyelesaian sengketa hak cipta dapat dilakukan melalui alternatif penyelesaian sengketa, arbitrase, atau pengadilan (Pasal 95 ayat (1) UUHC)

Baca juga: Yuk Kenali Lisensi Creative Commons, Agar Tidak Melanggar Hak Cipta!

Namun secara garis besar bentuk penyelesaian sengketa dibagi menjadi dua bagian, yaitu (D.Y. Witanto, dalam buku “Hukum Acara Mediasi (Dalam Perkara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Agama Menurut PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan)”, hlm. 5):

Bentuk penyelesaian sengketa hak cipta secara litigasi (peradilan)

  • Gugatan perdata

    1. Pembatalan pendaftaran ciptaan
      Dalam hal Ciptaan terdaftar di DJKI dan ada pihak lain yang menyatakan berhak atas Hak Cipta tersebut dapat mengajukan gugatan pembatalan ke Pengadilan Niaga. (Pasal 97 ayat (1) UUHC).
      Namun, pada prinsipnya Hak Cipta diperoleh bukan karena pendaftaran, tetapi dalam hal terjadi sengketa mengenai Kepemilikan Ciptaan yang terdaftar dan yang tidak terdaftar Pengadilan yang berwenang menangani Penyelesaian Sengketa adalah Pengadilan Niaga (Pasal 97 ayat (2) UUHC).
    2. Gugatan ganti rugi atas pelanggaran hak cipta
      Pencipta, Pemegang Hak Cipta, atau pemilik Hak Terkait berhak mengajukan gugatan ganti rugi kepada Pengadilan Niaga atas pelanggaran Hak Cipta atau produk Hak Terkait (Pasal 99 ayat (1) UUHC).
      Gugatan ganti rugi dapat berupa permintaan untuk menyerahkan seluruh atau sebagian penghasilan yang diperoleh dari penyelenggaraan ceramah, pertemuan ilmiah, pertunjukan atau pameran karya yang merupakan hasil pelanggaran Hak Cipta atau produk Hak Terkait (Pasal 99 ayat (2) UUHC).
      Selain gugatan, Pencipta, Pemegang Hak Cipta, atau pemilik Hak Terkait dapat memohon putusan provisi atau putusan sela kepada Pengadilan Niaga untuk (Pasal 99 ayat (3) UUHC):
    3. Meminta penyitaan Ciptaan yang dilakukan Pengumuman atau Penggandaan, dan/atau alat Penggandaan yang digunakan untuk menghasilkan Ciptaan hasil pelanggaran Hak Cipta dan produk Hak Terkait; dan/atau
    4. Menghentikan kegiatan Pengumuman, Pendistribusian, Komunikasi, dan/atau Penggandaan Ciptaan yang merupakan hasil pelanggaran Hak Cipta dan produk Hak Terkait.
  • Tuntutan pidana

Dalam UUHC ada sekitar 8 pasal yang mengatur tentang ketentuan pidana penjara dan pidana denda terkait sengketa hak cipta yang diatur pada Pasal 112 sampai Pasal 119 UUHC. 

Di dalam pasal 120 UUHC ditegaskan bahwa tindak pidana hak cipta merupakan delik aduan yang berarti tindak pidana hanya dapat dilakukan penuntutan setelah adanya laporan dengan permintaan untuk dilakukan penuntutan terhadap orang atau terhadap orang tertentu. Gugatan atas pelanggaran Hak Cipta diajukan kepada ketua Pengadilan Niaga.

  • Penetapan sementara pengadilan

Pengaturan tentang Penetapan Sementara Pengadilan dalam UU HKI khususnya Hak Cipta diatur dalam Pasal 44 ayat (1) Persetujuan TRIPs. Selain itu, penetapan sementara pengadilan dalam sengketa hak cipta diatur di dalam Pasal 106 sampai dengan Pasal 109 UUHC. Atas permintaan pihak yang merasa dirugikan karena pelaksanaan Hak Cipta atau Hak Terkait, Pengadilan Niaga dapat mengeluarkan penetapan sementara untuk:

    1. Mencegah masuknya barang yang diduga hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait ke jalur perdagangan;
    2. Menarik dari peredaran dan menyita serta menyimpan sebagai alat bukti yang berkaitan dengan pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait tersebut;
    3. Mengamankan barang bukti dan mencegah penghilangannya oleh pelanggar; dan/atau
    4. Menghentikan pelanggaran guna mencegah kerugian yang lebih besar.

Permohonan penetapan sementara diajukan secara tertulis oleh Pencipta, Pemegang Hak Cipta, pemilik Hak Terkait, atau Kuasanya kepada Pengadilan Niaga di wilayah hukum tempat ditemukannya barang yang diduga merupakan hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait dengan memenuhi persyaratan:

    1. Melampirkan bukti kepemilikan Hak Cipta atau Hak Terkait;
    2. Melampirkan petunjuk awal terjadinya pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait;
    3. Melampirkan keterangan yang jelas mengenai barang dan/atau dokumen yang diminta, dicari, dikumpulkan, atau diamankan untuk keperluan pembuktian;
    4. Melampirkan pernyataan adanya kekhawatiran bahwa pihak yang diduga  melakukan pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait akan menghilangkan barang bukti; dan
    5. Membayar jaminan yang besaran jumlahnya sebanding dengan nilai barang yang akan dikenai penetapan sementara.

Baca juga: Ini Dia! Contoh Pelanggaran Hak Cipta dalam Kehidupan sehari-hari

Bentuk penyelesaian sengketa hak cipta secara non litigasi (alternative dispute resolution)

Alternatif penyelesaian sengketa (alternative dispute resolution) adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli (Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU AAPS)).

  • Arbitrase

Pasal 1 angka 1 UU AAPS menjelaskan bahwa arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. 

Arbitrase digunakan untuk mengantisipasi perselisihan yang mungkin terjadi maupun yang sedang mengalami serta untuk menghindari penyelesaian sengketa melalui Lembaga peradilan yang selama ini dirasakan memerlukan waktu yang lama.

Pada umumnya Lembaga arbitrase mempunyai kelebihan dibandingkan dengan Lembaga peradilan. Kelebihan tersebut antara lain (Penjelasan bagian umum UU AAPS):

    • Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak sehingga citra yang sudah dibangun tidak terpengaruh karena sifat privat penyelesaian sengketa;
    • Dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif, karena sidang dapat langsung dilaksanakan ketika persyaratan sudah dipenuhi para pihak;
    • Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur, dan adil;
    • Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase; dan
    • Putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan, karena putusan arbitrase memiliki sifat final dan binding.
  • Mediasi

Menurut Pasal 1 angka 1 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan (PERMA 1/2016) bahwa mediasi merupakan cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan Para Pihak dengan dibantu oleh Mediator. 

Pengambilan keputusan tidak berada di tangan mediator, tetapi di tangan para pihak yang bersengketa. Mediasi sifatnya tidak formal, sukarela, melihat ke depan, kooperatif, dan berdasarkan kepentingan. (Rachmadi Usman, dalam buku “Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan”, hlm.99)

  • Konsultasi

Konsultasi merupakan suatu tindakan yang bersifat personal antara satu pihak tertentu yang disebut dengan klien dengan satu pihak lain yang merupakan pihak konsultan yang memberikan pendapatnya kepada klien tersebut untuk memenuhi keperluan dan kebutuhan kliennya tersebut. Peran dari konsultan dalam menyelesaikan sengketa atau perselisihan hanyalah sebatas memberikan pendapat hukum saja sebagaimana permintaan klien. 

Selanjutnya mengenai keputusan penyelesaian sengketa akan diambil sendiri oleh para pihak yang bersengketa, meskipun adakalanya pihak konsultan juga diberikan kesempatan untuk merumuskan bentuk-bentuk penyelesaian sengketa yang dikehendaki oleh para pihak yang bersengketa tersebut (Andre Wijaya, Skripsi “Penyelesaian Sengketa Dagang dalam Studi Putusan Geprek Bensu Melawan I Am Geprek Bensu”, hlm.85-86).

  • Negosiasi

Negosiasi adalah cara untuk mencari penyelesaian masalah melalui diskusi (musyawarah) secara langsung antara pihak-pihak yang bersengketa yang hasilnya diterima oleh para pihak tersebut. (Gatot P. Soemartono, Modul “Mengenal Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Arbitrase, hlm. 8)

  • Konsiliasi

Konsiliasi pada dasarnya hampir sama dengan mediasi, mengingat terdapat keterlibatan pihak ke-3 yang netral (yang tidak memihak) yang diharapkan dapat membantu para pihak dalam upaya penyelesaian sengketa, yaitu konsiliator. Namun peran konsiliator lebih aktif dibandingkan mediator yaitu (Bambang Sutiyoso, dalam buku yang berjudul “Penyelesaian Sengketa Bisnis: Solusi dan Antisipasi bagi Peminat Bisnis dalam menghadapi Sengketa kini dan mendatang”, hlm. 92):

    • Konsiliasi adalah proses penyelesaian sengketa di luar pengadilan secara kooperatif.
    • Konsiliator adalah pihak ketiga yang netral yang terlibat dan diterima oleh para pihak yang bersengketa di dalam perundingan.
    • Konsiliator bertugas membantu para pihak yang bersengketa untuk mencapai penyelesaian.
    • Konsiliator bersifat aktif dan mempunyai kewenangan mengusulkan pendapat dan merancang syarat-syarat kesepakatan di antara para pihak.
    • Konsiliator tidak mempunyai kewenangan membuat keputusan selama perundingan berlangsung.
    • Konsiliasi bertujuan untuk mencapai atau menghasilkan kesepakatan yang dapat diterima pihak-pihak yang bersengketa guna mengakhiri sengketa.

Punya pertanyaan terkait hak cipta atau hak kekayaan intelektual lainnya? Konsultasikan dengan Kami. Hubungi SmartLegal.id dengan menekan tombol dibawah ini.

Author: Intan Faradiba Ayrin

Seberapa membantu artikel ini menurut Anda?

TERBARU

PALING POPULER

KATEGORI ARTIKEL

PENDIRIAN BADAN USAHA

PENDAFTARAN MERK

LEGAL STORY