Pengusaha Potong Gaji Karyawan karena Pandemi, Emang Boleh?

Smartlegal.id -
Potong gaji karyawan
Potong gaji karyawan

“Perubahan besaran, potong maupun cara pembayaran gaji karyawan dapat dilakukan sesuai dengan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh”.

Pandemi Covid-19 telah memberikan dampak yang signifikan terutama bagi industri penerbangan tanah air. Ditambah adanya kebijakan pembatasan pergerakan dan wilayah yang diberlakukan dalam upaya penanggulangan pandemi membuat tekanan kinerja perusahaan penerbangan menjadi berat. Garuda sebagai salah satu perusahaan penerbangan yang mengalami hal tersebut, mengambil langkah strategis agar dapat bertahan dengan cara melakukan pemotongan gaji karyawan sebesar 30%-50%.

Lantas, apakah potong gaji karyawan ini diperbolehkan menurut undang-undang yang berlaku?

Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan (PP Pengupahan) istilah upah digunakan untuk menyebutkan kata gaji. Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan (Pasal 1 angka 1 PP Pengupahan). 

Baca juga: Ini Ketentuan Upah Pekerja WFH, WFO, dan Dirumahkan Selama Pandemi! 

Upah terdiri dari beberapa komponen, diantaranya sebagai berikut (Pasal 1 ayat 1 PP Pengupahan):

  1. Upah tanpa tunjangan
  2. Upah pokok dan tunjangan tetap
  3. Upah pokok, tunjangan tetap, dan tunjangan tidak tetap; atau
  4. Upah pokok dan tunjangan tidak tetap.

Pemotongan upah oleh pengusaha dapat dilakukan untuk pembayaran (Pasal 63 ayat (1) PP Pengupahan):

  1. Denda
  2. Ganti rugi
  3. Uang muka upah
  4. Sewa rumah dan/atau sewa barang milik perusahaan yang disewakan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh
  5. Utang atau cicilan utang pekerja/buruh dan/atau
  6. Kelebihan pembayaran upah

Pemotongan upah karena denda, ganti rugi dan uang muka upah dilakukan harus sesuai dengan Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama (Pasal 63 ayat (2) PP Pengupahan)

Selanjutnya, pemotongan upah karena sewa rumah dan/atau sewa barang milik perusahaan yang disewakan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh dan utang atau cicilan utang pekerja/buruh dilakukan berdasarkan kesepakatan tertulis atau perjanjian tertulis (Pasal 63 ayat (3) PP Pengupahan)

Dalam hal pemotongan upah karena kelebihan pembayaran upah, dapat dilakukan tanpa persetujuan pekerja/buruh (Pasal 63 ayat (4) PP Pengupahan). Jumlah keseluruhan pemotongan upah yang disebabkan salah satu sebab dari keenam sebab diatas paling banyak 50% dari setiap pembayaran upah yang diterima pekerja/buruh. (Pasal 65 PP Pengupahan)

Berbeda halnya, apabila pemotongan upah yang terjadi akibat pandemi bukan karena sebab-sebab diatas. Mengacu pada Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/3/HK.04/III/2020 Tahun 2020 tentang Perlindungan Pekerja/Buruh dan Kelangsungan Usaha dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Covid-19,  menyatakan bahwa bagi perusahaan yang melakukan pembatasan kegiatan usaha akibat kebijakan pemerintah di daerah masing-masing guna pencegahan dan penanggulangan COVID-19, sehingga menyebabkan sebagian atau seluruh pekerja/buruhnya tidak masuk kerja, dengan mempertimbangkan kelangsungan usaha maka perubahan besaran maupun cara pembayaran upah pekerja/buruh dilakukan sesuai dengan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh.

Baca juga:Begini Nasib Karyawan Setelah Perusahaan Berhasil Merger 

Meskipun diperbolehkan menurut surat edaran tersebut, namun perlu diingat bahwa pengurangan upah dapat dilakukan apabila sesuai dengan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh. Pemotongan upah yang tidak diawali dengan kesepakatan terlebih dahulu berpotensi terjadinya perselisihan hak. 

Perselisihan hak diartikan sebagai perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama (Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU 2/2004)). 

Dalam hal perselisihan hak karena adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, maka ada beberapa tonggak penopang pranata penegakan hak normatif pekerja yaitu (M. Thaib & Ramon “Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial” hlm.54-55):

  1.     Melalui hak berserikat, membentuk serikat pekerja
  2.     Hak diterima berunding secara kolektif
  3.     Hak melakukan mogok
  4. Adanya lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang tidak berpihak.

Punya Pertanyaan Seputar Legalitas Bisnis Anda? Hubungi SmartLegal.id Dengan Menekan Tombol Di Bawah Ini!

Author: Intan Faradiba Ayrin

Seberapa membantu artikel ini menurut Anda?

TERBARU

PALING POPULER

KATEGORI ARTIKEL

PENDIRIAN BADAN USAHA

PENDAFTARAN MERK

LEGAL STORY