Jangan Mangkir dari Surat Paksa Pajak agar Tak Kena Ini!

Smartlegal.id -
Surat Paksa Pajak

“Surat Paksa menjadi salah satu bentuk tindakan tegas otoritas pajak untuk memperingatkan para pelaku usaha selaku wajib pajak atau penanggung pajak atas pajak terutang.”

Sudah menjadi kewajiban bagi setiap wajib pajak (perorangan maupun badan, termasuk pelaku usaha) untuk melunasi pajak terutang. Oleh karena itu, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tentu akan melakukan berbagai upaya agar setiap wajib pajak patuh terhadap kewajibannya. Apabila terdapat wajib pajak yang tidak memenuhi kewajiban pajaknya, DJP akan melakukan tindakan tegas. Salah satu tindakan yang dimaksud adalah penagihan pajak dengan surat paksa.

Pada dasarnya, yang dimaksud dengan penagihan pajak adalah serangkaian tindakan agar penanggung pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan cara (Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (“UU PPSP”)):

  • Menegur atau memperingatkan; 
  • Melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus; 
  • Memberitahukan surat paksa;
  • Mengusulkan pencegahan;
  • Melaksanakan penyitaan;
  • Melaksanakan penyanderaan;
  • Menjual barang yang telah disita

Penagihan pajak dengan surat paksa

Penagihan pajak tentu berbeda dengan surat perintah penagihan seketika dan sekaligus. Penagihan seketika dan sekaligus adalah tindakan penagihan pajak yang dilaksanakan oleh jurusita pajak kepada penanggung pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang pajak dari semua jenis pajak, masa pajak, dan tahun pajak (Pasal 1 angka 11 UU PPSP)

Sedangkan penagihan pajak menggunakan surat paksa yang jelas menetapkan tanggal jatuh tempo bagi penanggung pajak untuk melunasi utang pajaknya (Pasal 1 angka 12 UU PPSP). 

Penerbitan surat paksa dilakukan setelah diterbitkannya surat perintah penagihan seketika dan sekaligus (Pasal 6 ayat (3) UU PPSP). Adapun  surat paksa merupakan surat yang berisi perintah untuk membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak (Pasal 1 angka 12 UU PPSP).  

Sesuai Pasal 12 Peraturan Menteri Keuangan No. 24/PMK.03/2008 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penagihan dengan Surat Paksa dan Pelaksanaan Penagihan Seketika dan Sekaligus (“PMK 24/2008”), surat paksa diterbitkan oleh pejabat jika jumlah utang pajak masih belum dilunasi oleh penanggung pajak setelah melewati batas waktu yang ditentukan yakni 21 hari terhitung sejak tanggal disampaikannya surat teguran dan diberitahukan secara langsung oleh jurusita pajak kepada penanggung pajak. 

Baca juga: WNA Wajib Bayar Pajak di Indonesia, Bener Gak Sih? 

Untuk melaksanakan penagihan pajak, Menteri Keuangan akan menunjuk beberapa pejabat sebagai pejabat untuk penagihan pajak. Adapun beberapa pejabat itu meliputi (Pasal 2 huruf a PMK 24/2008):

  1. Kepala Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar, Kepala Kantor Pelayanan Pajak Madya, dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak di lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta untuk penagihan pajak yang meliputi PPh, PPN, dan PPnBM;
  2.   Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama untuk penagihan pajak yang meliputi PPh, PPN, PPnBM, PBB, dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB);
  3. Kepala Kantor Pelayanan Pajak lainnya untuk penagihan pajak yang meliputi PPh, PPN, dan PPnBM;
  4. Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) untuk penagihan pajak yang meliputi PBB serta BPHTB.

Pejabat yang ditunjuk oleh menteri keuangan tersebut berwenang untuk mengangkat dan memberhentikan jurusita pajak sebagai pelaksana tindakan penagihan pajak.

Keberlakuan surat paksa

Surat paksa memiliki kekuatan eksekutorial ditandai dengan tersematnya kata-kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” pada kepala surat, artinya dengan adanya surat paksa berkekuatan untuk wajib dilaksanakan apa isi yang ada didalamnya secara paksa oleh alat-alat negara. Jadi secara kedudukan hukumnya sama dengan putusan pengadilan pajak yang telah berkekuatan hukum tetap (Pasal 7 ayat (1) UU PSPP)

Surat paksa memiliki kekuatan hukum yang sama dengan grosse putusan hakim dalam perkara perdata sehingga terhadap surat paksa tidak dapat diajukan banding. Hal ini juga menjadi peringatan dari otoritas pajak serta sebelum dilakukannya upaya-upaya penagihan yang lebih keras seperti penyitaan dan penyanderaan. 

Baca juga: 5 Jenis Pajak yang Bisa Dikenakan Terhadap Perusahaan 

Penerbitan surat paksa

Dalam proses penagihan pajak, sesuai Pasal 8 ayat (1) UU PSPP surat paksa dapat diterbitkan apabila: 

  1. Penanggung pajak yang bersangkutan masih belum juga melunasi utang pajaknya setelah mendapat surat teguran atau surat peringatan. 
  2. Terhadap penanggung pajak telah dilaksanakan penagihan seketika dan sekaligus
  3. Penanggung pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam keputusan persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak

Pemberitahuan tersebut dilakukan dengan pernyataan dan penyerahan salinan surat paksa kepada penanggung pajak yang bersangkutan. Pemberitahuan surat paksa kepada penanggung pajak dilaksanakan dengan membacakan isi surat paksa oleh jurusita pajak dan selanjutnya dituangkan dalam berita acara sebagai pernyataan bahwa surat paksa telah dibacakan (Pasal 10 UU PSPP).

Apabila dalam kurun waktu 2×24 jam setelah diterbitkannya surat paksa namun penanggung pajak tidak segera melunasi maka sesuai Pasal 24 ayat (1) PMK 24/2008 pejabat akan menerbitkan surat perintah untuk melakukan penyitaan. 

Penyitaan barang milik wajib pajak

Penyitaan diartikan sebagai tindakan yang dilaksanakan oleh jurusita pajak untuk menguasai barang milik penanggung pajak guna dijadikan jaminan untuk melunasi utang pajak menurut peraturan perundang-undangan (Pasal 1 angka 14 UU PPSP).

Penyitaan dilaksanakan sampai nilai barang yang telah disita dari penanggung pajak dianggap telah cukup oleh juru sita pajak untuk melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak. Penyitaan dapat dilakukan terhadap barang bergerak dan barang tidak bergerak milik penanggung pajak (Pasal 14 ayat (1) UU PPSP). 

Apabila penanggung pajak berbentuk badan, penyitaan dapat dilakukan terhadap barang-barang milik perusahaan, pengurus, kepala perwakilan, kepala cabang, penanggung jawab, pemilik modal. Pelaksanaan penyitaan dapat dilakukan baik di tempat kedudukan yang bersangkutan, di tempat tinggal mereka, maupun di tempat lain.

Secara garis besar, penerbitan surat paksa merupakan salah satu upaya terakhir dari otoritas pajak sebelum dilakukannya upaya-upaya yang lebih keras seperti pencegahan, penyitaan, dan penyanderaan demi menagih utang seorang penanggung pajak. 

Upaya yang ditempuh melalui penerbitan surat paksa tersebut tentu masih terbilang lebih baik bagi para penanggung pajak sendiri karena tidak mengekang kebebasan mereka maupun mengambil secara paksa properti mereka.

Punya pertanyaan seputar hukum perusahaan, legalitas usaha atau masalah hukum lain dalam bisnis anda? Segera hubungi Smartlegal.id melalui tombol di bawah ini. 

Author: Sekar Dewi Rachmawati

Seberapa membantu artikel ini menurut Anda?

TERBARU

PALING POPULER

KATEGORI ARTIKEL

PENDIRIAN BADAN USAHA

PENDAFTARAN MERK

LEGAL STORY