Tanpa Perjanjian Waralaba, Bisnis Franchise Menjadi Ilegal, Kok Bisa?
Smartlegal.id -
“Perjanjian waralaba merupakan pondasi dari sukses tidaknya bisnis franchise dijalankan, tanpa ada perjanjian bisnis warlaba tidak akan sah dimata hukum”
Sejauh mata memandang, pasti mudah untuk menemukan bisnis waralaba di sekitar kita.
Tak mengherankan bila bisnis waralaba, atau yang dikenal dengan franchise, ini masih ramai diminati oleh pelaku usaha dari berbagai kalangan.
Berbagai jenis franchise yang dengan mudah ditemui, antara lain minuman kekinian, martabak, korean street food, minimarket, hingga laundry.
Waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba.
Baca juga: NIB Adalah: Cek Syarat, Prosedur, & Tips Mengurusnya 2023
Hal tersebut sebagaimana yang dicantumkan dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Waralaba (Permendag 71/2019).
Beranjak dari definisi tersebut, maka dapat dikatakan bahwa perjanjian merupakan elemen penting dalam bisnis franchise.
Perjanjian Waralaba dan Legalitas Usaha
Ibarat sebuah bangunan, untuk tetap kokoh tentu memerlukan fondasi yang kuat.
Sama halnya dengan pelaksanaan bisnis franchise, tentu memerlukan dasar fondasi yang kuat dalam bentuk perjanjian
Sebab, perjanjian merupakan dasar kesepakatan untuk pelaksanaan bisnis franchise.
Selain itu, perjanjian dalam bisnis franchise memiliki peran yang penting dalam penerbitan izin usaha, yaitu Surat Tanda Pendaftaran Waralaba (STPW).
Jadi, tanpa adanya perjanjian, maka bisnis franchise dapat dikatakan ilegal karena tidak memiliki izin usaha.
Dalam hal ini, definisi perjanjian waralaba adalah perjanjian tertulis antara pemberi waralaba dengan penerima waralaba atau pemberi waralaba lanjutan dengan penerima waralaba lanjutan (Pasal 1 angka 8 Permendag 71/2019).
Ketentuan lain yang mengatur akan pentingnya perjanjian ditunjukkan dalam Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2007 tentang Waralaba (PP 42/2007), yang menyatakan bahwa bisnis franchise diselenggarakan berdasarkan perjanjian tertulis antara pemberi waralaba dengan penerima waralaba dengan memperhatikan hukum Indonesia.
Sebagai tambahan, pemberi waralaba disebut juga sebagai franchisor. Sementara bagi penerima waralaba dikenal dengan franchisee.
Syarat Pembuatan Perjanjian Waralaba
Syarat pemenuhan perjanjian waralaba yang baik tentu dilaksanakan dengan memperhatikan ketentuan hukum yang berlaku.
Ketentuan syarat perjanjian ini diatur dari dua sisi, baik secara umum maupun khusus.
Adapun syarat perjanjian secara umum dapat mengacu pada ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), yang meliputi:
- Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya (syarat subjektif);
- Kecakapan untuk membuat suatu perikatan (syarat subjektif);
- Suatu pokok persoalan tertentu (syarat objektif);
- Suatu sebab yang tidak terlarang (syarat objektif).
Empat syarat perjanjian tersebut secara umum wajib terpenuhi dalam hal diadakannya kesepakatan oleh para pihak untuk meraih tujuan tertentu.
Sementara itu, syarat khusus sebelum membuat perjanjian dapat dilihat dari kriteria untuk menjalankan bisnis franchise, yang meliputi (Pasal 3 PP 42/2007):
- Memiliki ciri khas usaha;
- Terbukti sudah memberikan keuntungan;
- Memiliki standar atas pelayanan dan barang dan/atau jasa yang ditawarkan yang dibuat secara tertulis;
- Mudah diajarkan dan diaplikasikan;
- Adanya dukungan yang berkesinambungan; dan
- Hak Kekayaan Intelektual yang telah terdaftar.
Sebagai tambahan, perlu diketahui bahwa waralaba yang terbukti sudah memberikan keuntungan adalah bisnis yang telah berdiri selama 5 tahun.
Baca juga: Belajar Bisnis Waralaba Breadtalk: Nasib Bisnis Bila Perjanjian Berakhir
Selain itu, franchisor juga telah mempunyai kiat bisnis untuk mengatasi permasalahan usaha. Ketentuan ini dinyatakan dalam Pasal 2 ayat (3) Permendag 71/2019.
Setelah syarat dasar pembuatan perjanjian waralaba telah terpenuhi, sebagai pelaku usaha dapat melakukan langkah selanjutnya, yang tidak kalah pentingnya, yaitu pengajuan STPW melalui sistem Online Single Submission (OSS).
Apa Isi Perjanjian Waralaba?
Perjanjian waralaba berisikan hak dan kewajiban yang mengikat dan mengatur para pihak, yakni franchisor dan franchisee.
Adapun isi dari perjanjian setidaknya meliputi (Lampiran II Permendag 71/2019):
- Nama dan alamat para pihak;
- Jenis Hak Kekayaan Intelektual (HKI), seperti merek dan logo perusahaan, desain gerai/tempat usaha, sistem manajemen atau pemasaran atau racikan bumbu masakan;
- Kegiatan usaha yang diperjanjikan;
- Hak dan kewajiban pemberi waralaba atau pemberi waralaba lanjutan dan penerima waralaba atau penerima waralaba lanjutan;
- Bantuan, fasilitas, bimbingan operasional, pelatihan, dan pemasaran yang diberikan;
- Batasan wilayah yang diberikan oleh pemberi waralaba atau pemberi waralaba lanjutan;
- Jangka waktu perjanjian waralaba;
- Tata cara pembayaran;
- Kepemilikan, perubahan kepemilikan, dan hak ahli waris;
- Penetapan forum penyelesaian sengketa;
- Tata cara perpanjangan dan pengakhiran perjanjian waralaba;
- Jaminan dari pemberi waralaba atau pemberi waralaba lanjutan;
- Jumlah gerai atau tempat usaha yang akan dikelola.
Berencana ingin menjalankan bisnis waralaba, tetapi masih belum memahami terkait rangkaian proses serta dokumen perizinan yang perlu disiapkan?
Konsultan Smartlegal.id berpengalaman dalam menangani urusan legalitas bisnis. Silakan hubungi kami dengan cara klik tombol di bawah ini.
Author: Richa Aulisa Rosniawaty
Editor: Bidari Aufa Sinarizqi