Kasus Dugaan Pemalsuan Brand Arc’teryx, Bisakah Menuntut Toko di Bali? Cek Aturannya!
Smartlegal.id -

“Dugaan pemalsuan brand Arc’teryx di Indonesia karena tidak terdaftar di DJKI. Dengan prinsip first to file, merek tersebut kini dimiliki oleh perusahaan asal China yang lebih dulu mendaftarkannya.”
Merek Arc’teryx, brand fashion asal Kanada yang dikenal dengan produk outdoor premium, tengah menjadi perbincangan setelah muncul isu bahwa mereknya “dibajak” oleh pihak lain di Indonesia.
Isu ini mengemuka setelah sejumlah toko di Bali diketahui menjual produk dengan merek yang sama, tetapi bukan berasal dari Arc’teryx pusat. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan: bagaimana perlindungan hukum terhadap merek asing di Indonesia?
Baca juga: Sengketa Hak Merek Mobil Denza, BYD Ajukan Gugatan Hukum di Indonesia
Kasus Dugaan Pemalsuan Brand Arc’teryx di Indonesia
Kasus Arc’teryx di Indonesia berawal dari tidak terdaftarnya merek tersebut oleh perusahaan asal Kanada di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI). Akibatnya, sebuah perusahaan asal China yang lebih dulu mendaftarkan merek Arc’teryx pada tahun 2019 berhak atas perlindungan hukum di Indonesia.
Karena sistem merek di Indonesia menganut prinsip first to file, merek diberikan kepada pihak yang pertama kali mendaftarkan, bukan yang pertama menggunakannya. Dalam kasus ini, Arc’teryx pusat tidak bisa mengajukan keberatan karena masa publikasi telah berakhir.
Namun, mereka masih memiliki opsi hukum dengan mengajukan gugatan pembatalan merek ke Pengadilan Niaga, terutama jika dapat dibuktikan adanya itikad tidak baik dari pemegang merek saat ini.
Kasus ini menjadi pengingat bahwa pendaftaran merek di Indonesia adalah langkah krusial bagi brand internasional yang ingin beroperasi di pasar lokal. Tanpa pendaftaran, merek tidak memiliki perlindungan hukum meskipun sudah terkenal di negara asalnya.
Tidak hanya kasus brand Arc’teryx saja yang mengalami sengketa merek, ternyata masih banyak brand lain, simak ulasannya dalam artikel 3 Contoh Kasus Sengketa Hak Merek di Indonesia Terbaru dan Penyelesaiannya.
Prinsip First to File dalam Perlindungan Merek
Dalam sistem hukum merek di Indonesia, berlaku prinsip first to file yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (UU MIG). Prinsip ini menyatakan bahwa hak atas merek diberikan kepada pihak yang lebih dahulu mendaftarkannya, bukan yang pertama menggunakannya.
Berdasarkan pernyataan DJKI, Arc’teryx pusat tidak mendaftarkan mereknya di Indonesia. Sebaliknya, perusahaan asal China lebih dulu mengajukan pendaftaran merek Arc’teryx pada tahun 2019 dan telah memperoleh hak atas merek tersebut di Indonesia. Akibatnya, merek tersebut secara hukum menjadi milik pihak yang mendaftarkannya terlebih dahulu.
Baca juga: Mau Daftar Merek? Pahami Dulu Kelas Merek Biar Ga Ditolak DJKI!
Mekanisme Keberatan dan Gugatan Pembatalan
UU MIG memberikan peluang bagi pihak yang merasa dirugikan untuk mengajukan keberatan saat proses pendaftaran merek berlangsung. Namun, dalam kasus Arc’teryx, tidak ada pihak yang mengajukan keberatan saat masa publikasi.
Saat ini, opsi hukum yang dapat ditempuh Arc’teryx pusat adalah:
- Mengajukan Gugatan Pembatalan Merek
- Arc’teryx dapat mengajukan gugatan pembatalan ke Pengadilan Niaga dengan alasan bahwa pendaftaran merek dilakukan dengan itikad tidak baik (Pasal 21 ayat (3) UU MIG).
- Jika pengadilan memutuskan bahwa pendaftaran merek dilakukan tanpa itikad baik, maka merek dapat dibatalkan dan haknya dikembalikan kepada Arc’teryx pusat.
- Melakukan Negosiasi atau Lisensi dengan Pemegang Merek di Indonesia
- Arc’teryx juga dapat melakukan pendekatan bisnis dengan pemilik merek yang telah terdaftar untuk memperoleh hak penggunaan kembali melalui perjanjian lisensi atau akuisisi merek.
Bagaimana Langkah hukum yang dapat diambil jika merek digunakan pihak lain tanpa izin? Simak ulasannya dalam artikel Langkah Hukum yang Bisa Dilakukan Jika Merek Anda Digunakan Orang Lain Tanpa Izin.
Pentingnya Mendaftarkan Merek di Indonesia
Kasus Arc’teryx menjadi pengingat bagi pemilik merek asing bahwa pendaftaran merek di Indonesia sangat penting untuk menghindari sengketa hukum di kemudian hari.
Menurut Pasal 3 UU MIG, hak atas merek hanya diberikan kepada pihak yang mendaftarkan mereknya terlebih dahulu. Tanpa pendaftaran, merek tidak akan mendapat perlindungan hukum di Indonesia, meskipun telah terkenal secara global.
Sebagai langkah pencegahan, pemilik merek asing yang ingin memperluas bisnisnya ke Indonesia sebaiknya segera mengajukan pendaftaran merek melalui DJKI Kementerian Hukum dan HAM. Jika menemukan mereknya digunakan oleh pihak lain tanpa izin, pemilik merek dapat melaporkannya melalui laman pengaduan.dgip.go.id.
Kasus Arc’teryx menunjukkan bagaimana prinsip first to file dalam sistem hukum merek di Indonesia dapat menyebabkan merek terkenal kehilangan haknya jika tidak segera didaftarkan. Untuk menghindari permasalahan serupa, pemilik merek asing harus proaktif dalam melindungi mereknya di Indonesia melalui pendaftaran yang sah.
Jangan sampai merek bisnis Anda jatuh ke tangan pihak lain! Segera daftarkan merek Anda sekarang juga bersama Smartlegal.id dan dapatkan perlindungan hukum yang sah di Indonesia. Hubungi kami untuk konsultasi lebih lanjut!
Author: Aulina Nadhira
Editor: Genies Wisnu Pradana
Referensi
https://www.suarapemredkalbar.com/read/potret/25022025/kasus-arcteryx-djki-tekankan-prinsip-first-to-file-dalam-pelindungan-merek
https://www.suara.com/lifestyle/2025/02/12/172437/profil-arcteryx-brand-fashion-kanada-yang-diisukan-dibajak-di-bali
https://www.bisnis.com/read/20250226/638/1842433/djki-kementerian-hukum-buka-suara-soal-kasus-merek-arcteryx