Benarkah Produk Tidak Memiliki Sertifikat Halal Bisa Dianggap Ilegal?
Smartlegal.id -

“Apakah produk tidak memiliki sertifikat halal dianggap ilegal? Produk tergolong ilegal jika tidak mencantumkan keterangan bahan atau status kehalalan namun tetap diperjualbelikan.”
Keberadaan sertifikat halal di Indonesia sangat penting untuk menjamin kualitas dan keamanan produk. Label halal memberikan kepastian bahwa produk tersebut aman dikonsumsi dan memenuhi standar yang berlaku.
Belakangan, pernyataan Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Ahmad Haikal yang menyebut produk tanpa sertifikat halal akan dikategorikan ilegal mulai 2026 menjadi sorotan hangat. Pernyataan ini memicu perbincangan di kalangan masyarakat dan pelaku usaha mengenai aturan dan penerapannya.
Banyak pihak mempertanyakan apakah apakah produk tidak memiliki sertifikat halal dianggap ilegal? Isu ini menimbulkan kebingungan sekaligus kekhawatiran di kalangan pelaku usaha maupun konsumen.
Lantas, bagaimana mengenai sertifikasi halal sebenarnya diterapkan? Simak pembahasan berikut untuk memahami ketentuan dan mekanismenya secara jelas.
Baca juga: Belajar Dari Kasus Ayam Widuran Jual Produk Non Halal, Pentingnya Sertifikat Halal
Isu Produk Tidak Memiliki Sertifikat Halal Dianggap Ilegal Mulai Tahun 2026
Kepala BPJPH Ahmad Haikal Hasan menegaskan bahwa semua produk makanan, minuman, obat, dan kosmetik yang belum memiliki sertifikat halal akan dikategorikan sebagai barang ilegal mulai tahun 2026. Pernyataan ini disampaikannya saat acara Gathering Media dan Pengusaha di Bekasi pada 6 Oktober 2025.
Penegasan tersebut langsung menimbulkan tanggapan dari anggota Komisi VI DPR RI Mufti Anam. Ia menilai kebijakan BPJPH terlalu terburu-buru dan berpotensi membebani pelaku UMKM karena proses sertifikasi dianggap rumit dan mahal.
Menanggapi kritik itu, Kepala BPJPH memberikan klarifikasi. Ia menjelaskan bahwa produk tidak otomatis dianggap ilegal tetapi yang dimaksud ilegal adalah produk yang tidak mencantumkan informasi bahan atau keterangan sama sekali namun tetap diperjualbelikan.
Kepala BPJPH menekankan bahwa produk halal wajib bersertifikat sedangkan produk non-halal boleh dijual dengan mencantumkan tanda non-halal sesuai ketentuan. Pemerintah juga menegakkan aturan ini melalui sanksi mulai dari surat peringatan dan teguran hingga pencabutan izin usaha.
Baca juga: Daftar Produk Makanan dan Minuman yang Wajib Bersertifikat Halal
Kewajiban Memiliki Sertifikat Halal
Sertifikat halal merupakan pengakuan resmi atas kehalalan suatu produk yang diterbitkan oleh BPJPH. Penerbitannya didasarkan pada fatwa halal tertulis dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) (Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Cipta Kerja (UU 33/2014)).
Semua produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib memiliki sertifikat halal (Pasal 4 UU 33/2014). Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa produk yang dikonsumsi masyarakat telah memenuhi standar kehalalan yang diatur secara hukum.
Produk yang wajib bersertifikat halal mencakup berbagai barang dan jasa. Barang yang wajib sertifikasi halal meliputi makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai atau dimanfaatkan masyarakat.
Sementara jasa yang wajib sertifikasi halal meliputi layanan yang terkait dengan penyembelihan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, hingga penyajian (Pasal 155 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal (PP 42/2024)).
Untuk memastikan seluruh produk dan jasa memenuhi ketentuan halal, pemerintah menetapkan batas waktu penahapan kewajiban sertifikasi halal bagi pelaku usaha (Pasal 160-161 PP 42/2024):
- Pelaku usaha menengah dan besar wajib memiliki sertifikat halal untuk produk makanan, minuman, hasil sembelihan, dan jasa penyembelihan mulai 17 Oktober 2019 hingga 17 Oktober 2024.
- Pelaku usaha mikro dan kecil wajib memiliki sertifikat halal untuk produk makanan, minuman, hasil sembelihan, dan jasa penyembelihan mulai 17 Oktober 2019 hingga 17 Oktober 2026.
- Produk dari luar negeri harus memiliki sertifikat halal paling lambat 17 Oktober 2026, dengan penetapan dilakukan oleh Menteri setelah koordinasi dengan kementerian atau lembaga terkait.
- Produk lain seperti obat, kosmetik, produk kimia/biologi/rekayasa genetik, dan barang gunaan memiliki jadwal berbeda sesuai jenisnya.
Baca juga: Wajibkah Semua Makanan Impor Bersertifikat Halal? Cek Faktanya!
Apakah Produk Non-Halal Wajib Memiliki Sertifikat Halal?
Produk yang mengandung bahan non-halal tidak diwajibkan memiliki sertifikat halal. Namun, pelaku usaha tetap berkewajiban mencantumkan keterangan “tidak halal” pada produk mereka agar konsumen mengetahui status kehalalan produk dengan jelas (Pasal 110 ayat (1) PP 42/2024).
Keterangan tidak halal dapat berupa gambar, tanda, atau tulisan yang ditempatkan pada kemasan, bagian tertentu dari produk, atau lokasi khusus pada produk. Penempatan ini harus strategis sehingga mudah terlihat dan dibaca oleh konsumen.
Selain itu, pencantuman keterangan tidak halal harus dibuat sedemikian rupa agar tidak mudah dihapus, dilepas, atau dirusak. Tujuannya adalah untuk memberikan perlindungan dan kepastian informasi bagi konsumen, sehingga mereka dapat membuat keputusan pembelian yang tepat dan terhindar dari kesalahan konsumsi (Pasal 110 ayat (2) PP 42/2024).
Baca juga: Sertifikat Halal Almaz Fried Chicken Sulit Diajukan dan Dimintai Miliaran, Bagaimana Ketentuannya?
Skema Sertifikat Halal
Untuk mempermudah pelaku usaha dalam mendapatkan sertifikasi halal, BPJPH menetapkan dua skema sertifikasi yang disesuaikan dengan jenis usaha dan risiko produk.
1. Skema Self Declare (Pernyataan Mandiri)
Skema ini ditujukan bagi Usaha Mikro dan Kecil (UMK) yang memproduksi produk dengan risiko rendah atau menggunakan bahan yang sudah terjamin kehalalannya. Pelaku usaha mengisi dan menandatangani Surat Jaminan Produk Halal (SJPH) secara mandiri sebagai jaminan bahwa produk mereka memenuhi standar halal (Pasal 98 PP 42/2024).
Pendamping Proses Produk Halal (PPH) hadir untuk membantu UMKM memverifikasi dokumen dan memastikan proses produksi sesuai ketentuan halal. Selain itu, BPJPH menyediakan kuota sertifikasi halal gratis melalui program SEHATI (Sertifikasi Halal Gratis), sehingga UMK dapat memperoleh sertifikat halal resmi tanpa melalui audit ketat oleh LPH.
2. Skema Reguler
Skema reguler diperuntukkan bagi produk dengan risiko tinggi yang wajib bersertifikat halal dan memerlukan pemeriksaan lebih mendalam. Prosesnya melibatkan auditor halal dari Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) yang memiliki laboratorium untuk menguji dan melakukan audit produk secara langsung.
Pemeriksaan dilakukan terhadap bahan baku, proses produksi, dan kondisi fasilitas usaha untuk memastikan produk memenuhi standar halal sebelum sertifikasi diterbitkan. Hasil audit LPH menjadi dasar bagi MUI untuk mengeluarkan fatwa halal.
Berdasarkan Keputusan Kepala BPJPH Nomor 22 Tahun 2024, biaya sertifikasi halal untuk UMK dalam skema reguler ditetapkan sesuai dengan skala usaha. Skema ini dirancang agar tetap terjangkau bagi pelaku usaha kecil dan memastikan kepatuhan terhadap ketentuan sertifikasi halal.
Baca juga: Masa Berlaku Sertifikat Halal dan Cara Cek Secara Online Sesuai Undang-Undang No 33 Tahun 2014
Prosedur Pengajuan Sertifikat Halal dengan Skema Reguler
Skema reguler ditujukan bagi produk yang wajib bersertifikat halal dan membutuhkan pemeriksaan menyeluruh. Proses ini memastikan produk telah memenuhi standar kehalalan mulai dari bahan baku hingga proses produksi dan fasilitas yang digunakan.
Tahapan pengajuan skema reguler adalah sebagai berikut:
1. Pendaftaran Melalui SIHALAL
Pelaku usaha mendaftar dan mengajukan permohonan sertifikasi halal melalui layanan SIHALAL melalui melalui https://ptsp.halal.go.id. Pada tahap ini, pelaku usaha mengisi data perusahaan, penanggung jawab, dokumen legal seperti NPWP dan NIB, serta informasi pabrik dan outlet.
3. Pengajuan Permohonan Sertifikasi Halal
Setelah mendaftar, pelaku usaha mengajukan permohonan sertifikat halal kepada BPJPH. BPJPH kemudian memeriksa kelengkapan dokumen dan memastikan persyaratan produk telah terpenuhi sebelum melanjutkan ke tahap audit.
4. Audit dan Pengujian oleh LPH
Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) melakukan audit dan pengujian terhadap bahan baku, proses produksi, dan fasilitas usaha. LPH yang melakukan pemeriksaan harus terakreditasi oleh BPJPH dan bekerja sama dengan MUI untuk memastikan standar halal terpenuhi.
5. Penetapan Fatwa Halal oleh MUI
Hasil audit dari LPH dijadikan dasar sidang fatwa halal oleh MUI. Jika produk memenuhi seluruh kriteria kehalalan, MUI menerbitkan keputusan Penetapan Halal Produk untuk produk tersebut.
6. Penerbitan sertifikat halal oleh BPJPH
Berdasarkan fatwa halal yang diterbitkan MUI, BPJPH mengeluarkan sertifikat halal resmi. Berdasarkan Pasal 42 UU 33/2014, sertifikat halal yang diterbitkan BPJPH berlaku selama 4 tahun sejak diterbitkan. Namun, setelah diubah melalui UU Cipta Kerja, sertifikat halal berlaku tetap selama tidak ada perubahan bahan atau Proses Produk Halal (PPH).
Segera urus sertifikat halal Anda dan pastikan produk Anda tidak dianggap ilegal. Hubungi Smartlegal.id untuk mendapatkan panduan dan bantuan lengkap dalam proses sertifikasi halal produk Anda.
Author: Pudja Maulani Savitri
Editor: Genies Wisnu Pradana
Referensi:
https://www.detik.com/hikmah/khazanah/d-8147491/awas-produk-tanpa-sertifikat-halal-dikategorikan-ilegal-mulai-2026
https://www.inanews.co.id/2025/10/produk-tanpa-label-halal-terancam-sanksi-pidana-mulai-oktober-2026/
https://www.bola.com/news/read/6182251/bpjph-luruskan-isu-produk-tanpa-sertifikat-halal-akan-dinyatakan-ilegal-mulai-2026?page=3