Kenali Permasalahan Pengungsi Luar Negeri di Indonesia

Smartlegal.id -
Kenali-Permasalahan-Pengungsi-Luar-Negeri-di-Indonesia

Bencana gempa dan tsunami yang menimpa Donggala, Palu, dan daerah sekitarnya kembali memantik rasa kemanusiaan dan kepedulian. Gelombang demi gelombang bantuan terus berdatangan. Permasalahan yang timbul dari bencana tersebut, seperti kekurangan makanan, ketidakamanan lingkungan, dan banyaknya korban yang harus ditangani tidak dapat dihindari.

Salah satu hal permasalahan lain yang muncul adalah keberadaan pengungsi bencana. Sudah puluhan ribu orang di Donggala, Palu, dan sekitarnya yang mencoba mengungsi ke tempat yang lebih aman. Indonesia sebenarnya tidak hanya memiliki pengungsi internal belaka akibat bencana alam, namun juga memiliki pengungsi dan pencari suaka dari negara lain, seperti Rohingya, Afghanistan, Sudan, dan Irak.

Komisi Tinggi PBB mengartikan pengungsi sebagai seseorang yang punya rasa takut yang benar-benar beralasan karena rasnya, agamanya, kebangsaannya, keanggotaannya dalam kelompok sosial tertentu atau pandangan politiknya berada di luar negara asalnya dan tidak dapat atau tidak mau memanfaatkan perlindungan Negara asalnya atau kembali ke negara tersebut karena takut terhadap persekusi.

Sementara pencari suaka menurut UNHCR adalah seorang yang menyebut dirinya sebagai pengungsi, namun permintaan mereka akan perlindungan belum selesai dipertimbangkan. Seorang pencari suaka yang meminta perlindungan akan dievaluasi melalui prosedur penentuan status pengungsi, yang dimulai sejak tahap registrasi pencari suaka.

Perbedaan antara pengungsi dan pencari suaka adalah dari sudah diakui atau belum diakuinya seseorang statusnya sebagai pengungsi. Pengungsi sudah diakui statusnya oleh UNHCR, sementara pencari suaka belum. Pengakuan status sebagai pengungsi merupakan kewenangan UNHCR dengan kriteria khusus. Indonesia selalu berusaha menghormati norma internasional dalam urusan pengungsi.

Indonesia sebenarnya sudah lama menjadi tujuan pengungsi dan pencari suaka dari seluruh dunia. Posisi Indonesia yang strategis membuat Indonesia berada pada posisi yang prima untuk menerima alur migrasi, termasuk pengungsi dan pencari suaka, dari berbagai tempat. Tercatat, pengungsi dan pencari suaka dalam jumlah besar pertama kali tiba di Indonesia pada tahun 1970-an dari Vietnam pasca Perang Vietnam.

Pengungsi dan pencari suaka lain dari berbagai Negara pun berangsur-angsur berdatangan ke Indonesia. Pengungsi Kamboja, Afghanistan, Irak, Sudan, Suriah, dan Rohingya menambah deretan panjang dari uluran tangan bangsa Indonesia. UNHCR mencatat bahwa Indonesia memiliki 6.191 pencari suaka dan 8.279 pengungsi per Maret 2017. Namun, kemurahan hati tersebut bukan tanpa masalah.

Kapasitas Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) milik Direktorat Jenderal Keimigrasian Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, jauh di bawah ambang batas kebutuhan. Selain itu, Rudenim juga menampung para pelanggar imigrasi, di samping pengungsi dan pencari suaka sehingga penggunaannya menjadi tumpang tindih.

Direktur Jenderal Keimigrasian Kemenkumham, Ronnie Sompie, mengatakan bahwa Indonesia hanya memiliki 13 Rudenim yang tersebar di berbagai daerah, yang masing-masing hanya bisa menampung sekitar 150 – 400 orang. Hal tersebut terlihat dari banyaknya pengungsi dan pencari suaka atau bahkan pelanggar keimigrasian yang tinggal di trotoar Rudenim Kalideres, Jakarta.

Rudenim sendiri awalnya tidak dimaksudkan menjadi tempat penampungan pengungsi. Pasal 83 Undang-Undang Keimigrasian menyatakan bahwa Rudenim untuk orang yang melanggar aturan keimigrasian, menunggu deportasi, atau ditolak izin masuknya ke Indonesia.

Selain itu, ada pula permasalahan keuangan. Pengurusan pengungsi dan pencari suaka membutuhkan uang yang banyak. Pemerintah Pusat melalui Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 melimpahkan sebagian tanggung jawab anggaran pengurusan pengungsi dan pencari suaka kepada Pemerintah Daerah.

Pemerintah Daerah bersikap berbeda. Gubernur Aceh Zaini Abdullah mengatakan daerahnya siap menampung ribuan pengungsi etnis Rohingya. Namun, dia enggan menggunakan anggaran daerah untuk memberikan bantuan dan fasilitas kepada para pengungsi itu. Untuk soal kemanusiaan dananya tidak boleh dari Pemerintah Daerah saja, namun urunan dengan Pusat, rakyat, dan dunia Internasional.

Lalu, ada pula permasalahan peraturan perundang-undangan. Indonesia belum meratifikasi Konvensi PBB tentang Penanganan Pengungsi Tahun 1951. Peneliti Antje Missbach menyebutkan bahwa Indonesia belum ada kerangka hukum yang jelas dalam pemrosesan pengungsi dan pencari suaka. Penanganan pengungsi dan pencari suaka masih bersandar pada Undang-Undang Keimigrasian, bukan pada aturan mandiri.

Jadi, jika kita masih memiliki hati nurani, maka mari kita bantu saudara-saudara kita pengungsi dan pencari suaka, baik yang berasal dari dalam atau luar negeri. Baik itu yang berasal dari Rohingya, Afghanistan, Irak, ataupun Lombok dan Palu. Kita semua tentu ingin Indonesia menjadi Negara yang berperikemanusiaan yang adil dan beradab, bukan?

SMART LEGAL Network dapat membantu Anda
Apabila anda ingin berkonsultasi terkait permasalahan hukum, Anda dapat menghubungi kami melalui:

E: [email protected]

Author: TC-Thareq Akmal Hibatullah

Seberapa membantu artikel ini menurut Anda?

TERBARU

PALING POPULER

KATEGORI ARTIKEL

PENDIRIAN BADAN USAHA

PENDAFTARAN MERK

LEGAL STORY