Heboh, Drakor Racket Boys Tuai Kontroversi! Ini Ketentuan Muatan Siaran

Smartlegal.id -
Drakor Racket Boys

“Jika penyiaran melanggar ketentuan yang berlaku, maka dapat dijerat sanksi pidana berupa denda dan penjara”

Sejak beberapa hari lalu, publik tanah air kembali dihebohkan dengan tayangan dari salah satu drama asal Korea Selatan (Drakor) berjudul “Racket Boys“. Kehebohan tersebut terjadi sejak ditayangkannya episode ke-5 dari serial drama tersebut.

Hal ini karena beberapa adegan dalam episode tersebut dinilai telah melecehkan negara dan rakyat Indonesia. Adapun adegan dalam drakor racket boys yang dimaksud, yakni saat pelatih dan pemain bulu tangkis asal Korea Selatan menumpahkan rasa kesal dan kekecewaan mereka saat tengah mengikuti pertandingan bulu tangkis di Jakarta.

Pada adegan tersebut, digambarkan bahwa para pelatih kontingen asal Korea Selatan tersebut mempermasalahkan kamar dan tempat latihan yang disediakan oleh panitia pertandingan yang tidak lain adalah Indonesia. Mereka menganggap bahwa fasilitas-fasilitas tersebut tidak layak pakai dan berspekulasi seolah hal tersebut sengaja dilakukan oleh pihak Indonesia untuk mengalahkan kontingen asal Korea Selatan.

Baca juga: Dari Drakor Penthouse Kita Belajar Bedanya MoU Dengan Perjanjian

Selain itu, terdapat pula adegan yang menggambarkan bahwa penonton Indonesia tidak bersikap sportif terhadap hasil pertandingan. Adegan dalam drakor racket boys yang dimaksud, yakni saat para pendukung tim Indonesia melontarkan ejekan dan berteriak pada pemain asal Korea Selatan yang berhasil memenangkan pertandingan.

Atas kehebohan tersebut, anggota Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) turut mempertanyakan bagaimana episode Racket Boys tersebut bisa tayang di Indonesia. Wakil Ketua Komisi X DPR, Dede Yusuf Macan, menyayangkan lembaga sensor karena telah meloloskan episode atau serial asal Korea Selatan tersebut yang dianggap telah melecehkan Indonesia.

Lantas, bagaimana ketentuan penyiaran yang berlaku di Indonesia?

Mengacu pada ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran) ditetapkan bahwa yang dimaksud dengan siaran adalah pesan atau rangkaian pesan dalam bentuk suara, gambar, atau kombinasi keduanya yang dapat diterima melalui perangkat penerima siaran. Suara atau gambar tersebut dapat berbentuk grafis atau karakter baik yang bersifat interaktif maupun tidak.

Sementara itu, berdasarkan Pasal 1 angka 3 dan 4 UU Penyiaran ditetapkan bahwa kegiatan penyiaran sendiri dapat dilakukan baik melalui media televisi maupun radio oleh lembaga penyiaran.  Adapun lembaga penyiaran yang dimaksud terdiri dari lembaga penyiaran publik, lembaga penyiaran swasta, lembaga penyiaran komunitas, dan lembaga penyiaran berlangganan (Pasal 13 ayat (2) UU Penyiaran).

Dalam pelaksanaannya, setiap lembaga penyiaran harus melaksanakan kegiatannya berdasarkan asas manfaat, adil dan merata, kepastian hukum, keamanan, keberagaman, kemitraan, etika, kemandirian, kebebasan, dan tanggung jawab (Pasal 2 UU Penyiaran). Sementara itu, kegiatan penyiaran sendiri harus diarahkan untuk hal-hal berikut:

  1. Menjunjung tinggi pelaksanaan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
  2. Menjaga dan meningkatkan moralitas dan nilai-nilai agama serta jati diri bangsa;
  3. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia;
  4. Menjaga dan mempererat persatuan dan kesatuan bangsa;
  5. Meningkatkan kesadaran ketaatan hukum dan disiplin nasional;
  6. Menyalurkan pendapat umum serta mendorong peran aktif masyarakat dalam pembangunan nasional dan daerah serta melestarikan lingkungan hidup;
  7. Mencegah monopoli kepemilikan dan mendukung persaingan yang sehat di bidang penyiaran;
  8. Mendorong peningkatan kemampuan perekonomian rakyat, mewujudkan pemerataan, dan memperkuat daya saing bangsa dalam era globalisasi;
  9. Memberikan informasi yang benar, seimbang, dan bertanggung jawab;
  10. Memajukan kebudayaan nasional (Pasal 5 UU Penyiaran).

Sementara itu, untuk muatan siaran dari jasa penyiaran televisi yang diselenggarakan oleh lembaga penyiaran swasta dan publik, wajib memuat setidaknya 60% mata acara yang berasal dari dalam negeri. Muatan siaran tersebut juga wajib dijaga netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan kepentingan golongan tertentu (Pasal 36 ayat (2) dan (4) UU Penyiaran).

Apabila hal tersebut dilanggar, maka lembaga penyiaran TV yang bersangkutan dapat dikenakan sanksi administratif berupa:

  1. Teguran tertulis;
  2. Penghentian sementara mata acara yang bermasalah setelah melalui tahap tertentu;
  3. Pembatasan durasi dan waktu siaran;
  4. Denda administratif;
  5. Pembekuan kegiatan siaran untuk waktu tertentu;
  6. Tidak diberi perpanjangan Perizinan Berusaha penyelenggaraan penyiaran; atau
  7. Pencabutan Perizinan Berusaha penyelenggaraan penyiaran (Pasal 72 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja)).

Selain itu, para penyiar di Indonesia termasuk penyiar TV juga dilarang untuk menyelenggarakan siaran yang memiliki muatan (Pasal 36 ayat (5) UU Penyiaran):

  1. Bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan atau bohong;
  2. Menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang; atau
  3. Mempertentangkan SARA, yakni suku, agama, ras, dan antar-golongan.

Baca juga: Tertarik Punya Rumah Produksi Musik Ala Eka Gustiwana? Ini Legalitas Bisnisnya

Muatan siaran yang dimaksud juga dilarang untuk memperolokkan, merendahkan, melecehkan dan/atau mengabaikan nilai-nilai agama, martabat manusia Indonesia, atau merusak hubungan internasional. Apabila kedua ketentuan tersebut dilanggar, maka untuk lembaga penyiaran TV dapat dikenakan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp10 miliar (Pasal 36 ayat (6) UU Penyiaran dan Pasal 72 UU Cipta Kerja).

Anda masih bingung dengan ketentuan legalitas bisnis Anda? Konsultasikan saja kepada kami. Segera hubungi Smartlegal.id melalui tombol di bawah ini. 

Author: Muhammad Fa’iz Nur Abshar

Seberapa membantu artikel ini menurut Anda?

TERBARU

PALING POPULER

KATEGORI ARTIKEL

PENDIRIAN BADAN USAHA

PENDAFTARAN MERK

LEGAL STORY